Saat kultur generasi Y, teknologi digital, kewirausahaan sosial, dan teknologi pangan terbaru diadopsi secara bersamaan, maka kita hanya bisa terperangah. Mereka mengerjakan semuanya dari nol hingga terwujud produk sebotol minuman dari sarang burung walet. Mereka menjual nilai-nilai, bukan menjual barang. Semakin bingung memahami fenomena ini? Sebuah era baru industri pangan yang mengubah konsep-konsep industri lama.
Ruangan itu seperti bukan ruang kerja, melainkan mirip tempat bermain, terkesan santai. Warna-warni cerah dipilih untuk dinding dan perabot kerja. Ada gambar-gambar seni pop di dinding dan pohon. Ada juga ruang makan yang mirip kafe. Meja karyawan juga tidak bersekat. Mereka tampak ceria dan serius bekerja.
Kita bukan sedang memasuki sebuah kantor industri digital. Kita sedang berada di sebuah pabrik minuman berbahan sarang burung walet Realfood. Lokasinya bukan di kota besar seperti Jakarta, melainkan di sebuah kota kecil di Jawa Timur, tepatnya di Desa Mulyoagung, di pinggir Kota Bojonegoro.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ini ruang pertemuan kami,” kata pendiri Realfood, Edwin Pranata, menunjukkan ruangan berdinding kaca dan berisi balok-balok bangku. Ruang rapat terkesan tidak formal. Ketika kami bertemu dengan para karyawan Realfood di ruang ini, suasananya lebih mirip bertemu dengan teman mengobrol.
Desain seperti itu banyak ditemukan di Realfood, antara lain di perpustakaan serta tempat untuk hiburan dan olahraga. Desain seperti ini mengadopsi kultur generasi Y, generasi yang lahir setelah tahun 1980. Mereka lebih menyukai suasana yang santai, dinamis, dan tidak formal, tetapi tetap produktif.
Maklum saja, sebagian besar mereka yang bekerja di tempat itu adalah generasi Y yang berumur sekitar 25 tahun. Kondisi ini jauh berbeda dengan sejumlah pabrik pangan yang sudah mapan yang ruangannya masih kaku, monoton, birokratis, dan sumpek.
Tidak mengherankan jika saat perekrutan karyawan, pengumuman dari Realfood ,yang menyebut dirinya sebagai usaha rintisan (start up), langsung menarik anak-anak muda seperti Franky yang alumnus ITB, Sendy yang alumnus Universitas Pasundan, dan Fela yang alumnus Universitas Gadjah Mada meski lokasi industri itu di Bojonegoro. Mereka beralasan, tantangan yang ditawarkan, yaitu menjalankan usaha rintisan, menjadikan mereka memilih Realfood sekalipun mereka tidak pernah mengenal Bojonegoro.
“Kami merasa cocok dari sisi umur. Rata-rata umurnya tidak beda jauh,” kata Sendy.
Teknologi digital
Melihat karyawan yang merupakan generasi Y, maka sudah pasti Realfood juga mengadopsi teknologi digital. Sejak pembuatan botol, mereka menggunakan teknologi digital.
“Botol ini didesain oleh kami. Kami tidak memesan botol yang sudah jadi, tetapi mendesain kemudian memesan botol ke produsen botol,” kata Head of Marketing Communication & Creative of Realfood William A.
Desain lainnya adalah desain kemasan dan promosi produk. Mereka lebih mengandalkan media sosial untuk penjualan. Tidak mengherankan jika di pabrik pangan ini terdapat berbagai ahli, mulai dari desainer digital, pemasaran digital, hingga fotografer dan videografer.
“Kami berdiskusi dan berbagi pendapat ketika hendak membuat rancangan grafis, desain, serta foto dan video. Hasilnya pun kami diskusikan kembali,” kata Creative Designer Realfood Herlangga Panditama.
Tidak terbayangkan sebelumnya di sebuah pabrik pangan tenaga-tenaga kreatif ini mempunyai peran strategis.
“Kami tidak bisa membuat bahan-bahan promosi, desain kemasan, video promosi, dan lain-lain ke pihak ketiga. Kami yakin dengan nilai-nilai kami. Karena itu, kami mengerjakan sendiri. Kalau kami serahkan ke pihak ketiga, kami ragu apakah mereka memahami nilai-nilai kami,” kata Edwin.
Perusahaan minuman berbahan sarang burung walet, Realfood, di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Perusahaan ini mengadopsi kultur generasi Y, kewirausahaan sosial, teknologi digital, dan teknologi pangan.–KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Sudah barang tentu pernyataan itu membuat kami terkejut. Sebuah pabrik pangan, tetapi malah menawarkan nilai-nilai. Edwin langsung menjelaskan bahwa perusahaan ini bukan menjual produk semata, melainkan juga menawarkan nilai-nilai. Mereka ingin menggerakkan kesetiakawanan sosial melalui produk itu. Sebelum mereka menjangkau konsumen, mereka telah menanamkan nilai-nilai itu kepada diri mereka sendiri.
Nilai-nilai itu ditanam melalui kegiatan yang dinamai Generasi Matoh (Gema) yang artinya generasi mengagumkan. Melalui program ini, seluruh karyawan Realfood harus mengunjungi desa dan berinteraksi dengan anak-anak desa.
Mereka memotivasi anak- anak untuk menggapai cita-cita dan berpendidikan. Mereka sudah beberapa kali melakukan kegiatan ini. Kelak, setiap tiga bulan seluruh karyawan harus mengikuti kegiatan ini.
“Kami berangkat dari kewirausahaan sosial. Kami ingin mengajak konsumen ketika minum produk kami sebenarnya mereka memiliki tujuan, yaitu membangun kesehatan mereka dan mengembangkan sesama. Saat minum sebenarnya mereka membantu orang lain dalam bidang pendidikan dan memberantas kemiskinan. Jika sudah berjalan, nantinya konsumen kami ajak dalam kegiatan Generasi Matoh,” kata Edwin.
Tidak hanya itu, Realfood, yang sebenarnya menghasilkan limbah sangat sedikit, tetap saja mengolah limbah itu. Limbah hanya berupa air dan sedikit bahan organik sisa proses produksi.
“Kami berusaha memahami nilai-nilai kami termasuk dalam pengolahan limbah. Sebenarnya kami tidak perlu mengolah limbah karena sangat sedikit dan kecil sekali. Akan tetapi, karena kami menawarkan nilai ke konsumen, kami tidak bisa mengingkari itu sehingga limbah tetap ditangani,” kata Manajer Produksi William Kusnanto
Model bisnis Realfood relatif baru di Indonesia, termasuk teknologi yang digunakan. Produksi minuman dilakukan dengan menggunakan teknologi robot sehingga tidak banyak menggunakan tenaga manusia. Pilihan ini memang bisa diperdebatkan. Namun, kenyataan bahwa kebutuhan manusia lebih di tenaga kreatif untuk memasuki pasar, maka lebih banyak tenaga kerja di proses kreatif.
Tidak mengherankan jika di pabrik ini malah banyak tenaga kreatif, baik di bidang pemasaran, komunikasi, maupun desain.
Era baru industri pangan telah dimulai. Salah satunya oleh Realfood yang berada di Bojonegoro. Mereka membawa angin baru dalam cara berbisnis pangan.
Konsep bisnis lama yang menjual produk semata diubah menjadi menjual nilai. Keuntungan sebesar-besarnya tidak berarti keuntungan finansial, tetapi juga keuntungan untuk konsumen dan masyarakat.
Terkejut
Bupati Bojonegoro Suyoto mengaku terkejut dengan cara bisnis anak-anak muda ini. Ia tak menduga di kota yang dipimpinnya muncul anak-anak muda yang memiliki kreativitas tinggi. Anak-anak muda dari berbagai latar belakang ilmu, suku, dan daerah asal bisa bertemu di kota kecil itu dan membuat karya kreatif
“Saya hanya bisa memfasilitasi mereka,” kata Suyoto yang dimintai komentar mengenai bisnis Realfood.
Edwin mengungkapkan, dirinya telah memasarkan produk ke beberapa konsumen kalangan atas. Ia juga menceritakan, sudah mendapat respons dari mereka.
Ia berharap konsumen bukan hanya minum produknya saja melainkan juga memahami nilai-nilai yang ditawarkan. Melalui kewirausahaan sosial yang dijalankan, ia dan kawan-kawannya ingin bisa ikut menyelesaikan sejumlah masalah di masyarakat.—ANDREAS MARYOTO
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 April 2016, di halaman 13 dengan judul “Revolusi Industri Pangan dari Bojonegoro”.