Pemerintah tengah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun. Revisi ditargetkan selesai tahun ini.
Salah satu hal yang akan dibahas dalam revisi tersebut adalah metode sampling pada impor clean plastic yang dilakukan surveyor. Kementerian Perdagangan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga akan memerinci teknis evaluasi serta pengawasan terhadap surveyor dalam revisi aturan tersebut.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO–Petugas Dinas Kebersihan menyapu sampah plastik di trotoar Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakarta, 2 Juni 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Karyanto Suprih mengatakan, evaluasi terbesar dari masuknya sampah dan bahan lain di luar clean plastic adalah metode sampling dari surveyor. ”Seharusnya, mereka mengambil sampel yang representatif. Jika dibutuhkan, surveyor bisa mengecek secara populasi,” tutur Karyanto, Selasa (11/6/2019), di Jakarta.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA–Sekitar 4.000 penari dari 16 kabupaten/kota di Jawa Barat menarikan Ronggeng Geber dalam memeriahkan Hari Tari Sedunia di Kota Bandung, 28 April 2019). Sejumlah penari menggunakan kostum berbahan sampah plastik pada kegiatan itu.
Revisi Permendag No 31/ 2016 juga akan membahas kata ”dan lain-lain”, kode HS terkait, serta definisi clean plastic. Kemendag dan KLHK menjadi aktor utama dalam pembahasan ini.
”Bahkan, kalau secara kandungan clean plastic ini memiliki subtitusinya dari dalam negeri, tak perlu lagi impor untuk kebutuhan bahan baku industri. Jangan sampai Indonesia menjadi importir sampah plastik,” kata Karyanto.
Mendukung
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia Christine Halim mendukung revisi Permendag No 31/2016. ”Bagus itu. Saya juga tak setuju kalau ada impor sampah ke Indonesia, merugikan bangsa,” ujarnya.
Ia mengaku lebih memilih menggunakan bahan baku lokal apabila materinya tersedia dibandingkan mendatangkannya dari luar negeri. Meski demikian, ia mengakui, bahan baku plastik daur ulang impor memiliki kondisi lebih bagus dan bersih. Penyebabnya, sampah plastik, terutama botol air minuman, dari luar negeri umumnya sudah terpilah baik.
Terkait kasus impor material plastik daur ulang yang terkontaminasi sampah, Christine tak habis pikir karena melibatkan belasan hingga puluhan kontainer. Menurut dia, industri daur ulang plastik umumnya mengimpor satu atau dua kontainer. Ketika ada banyak pengotor ikutan, perusahaan kapok dan tak membelinya dari eksportir. ”Kami pasti tidak mau. Plastik (bahan daur ulang) itu dibeli mahal,” ujarnya.
Pihaknya mendapat jatah impor 1.000 ton material plastik per tahun atau sekitar 40 kontainer per tahun. Untuk mendapatkan rekomendasi impor, perusahaan harus menunjukkan teknologi dan kapasitas mesin, serta dilarang memperjualbelikan materi impor tersebut.
Selain itu, menurut Christine, saat ini aturan dan pengawasan impor material plastik daur ulang di Indonesia juga sudah ketat. Di negara asal, material plastik tersebut juga sudah disurvei lembaga survei setempat.
Christine mengatakan bahan baku plastik daur ulang impor sekitar 200-300 dollar AS per ton. Jauh lebih murah dibandingkan mendatangkan bijih plastik virgin (langsung dari minyak bumi) seharga 1.000 dollar AS per ton.
Mengutip data Kementerian Perindustrian, ia menyebutkan pada tahun 2018 kebutuhan barang plastik sebesar 7,6 juta ton yang dipasok dari produksi nasional sebesar 6,74 juta ton dan impor 854.000 ton. Produksi nasional ini dipasok dari kebutuhan bahan baku plastik virgin dalam negeri (2,33 juta ton) dan impor (3,66 juta ton) serta scrap/recycle lokal 913.629 ton serta impor 320.452 ton.
Ia sangat mendukung agar material daur ulang bisa dipasok sepenuhnya dari dalam negeri. Caranya dengan meningkatkan pengelolaan plastik yaitu minimal dari pemilahan sejak dari rumah tangga hingga pengangkutan dan pengumpulan. Hal itu, kata dia, sangat membantu industri daur ulang untuk mendapatkan material yang bersih dan ekonomis untuk membuat produk plastik.
Yuyun Ismawati, pendiri Yayasan Balifokus/Nexus3, pun mendorong revisi Permendag No 31/2016. Selain menghilangkan HS Code yang berisi celah “lain-lain”, ia meminta agar persentase kontaminan pada material impor tersebut diatur secara tegas. Ia menyebut angka toleransi kontaminan untuk China saat ini mencapai 0,5 persen dan Australia 2 persen.
Ia pun meminta peran Bea dan Cukai diperkuat di lapangan. Aturan yang detil dan tegas dari kementerian sektor diperlukan untuk melakukan pengawasan lebih ketat.–ICHWAN SUSANTO, MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
Editor A TOMY TRINUGROHO
Sumber: Kompas, 12 Juni 2019