Kerja Sama Lintas Sektor Perlu Diperkuat
Resistensi anti mikroba di Indonesia terus terjadi. Sejauh ini pengendalian di sektor kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan belum terintegrasi. Padahal, data surveilans pola resistensi kuman antar-pemangku kepentingan diperlukan sebagai dasar pengambilan kebijakan.
Menurut Penanggung Jawab Resistensi Antimikroba Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia Dewi Indriani, pada temu media ”Strategi Kurangi Maraknya Bakteri Kebal Antibiotik”, di Jakarta, Selasa (19/4), resistensi anti mikroba terjadi di setiap negara dan mengancam seluruh penduduk dunia.
Resistensi antibiotik terjadi di sektor kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan. Karena itu, perlu upaya terintegrasi untuk mengendalikan resistensi anti mikroba lewat pendekatan One Health, melibatkan pemangku kepentingan sektor lain, seperti ekonomi dan lingkungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika resistensi anti mikroba tak dikendalikan, diperkirakan menyebabkan 10 juta kematian di dunia setiap tahun dan kehilangan produk domestik bruto 2 persen-3,5 persen pada 2050. Itu belum termasuk menurunnya produktivitas karena sakit dan ongkos pengobatan kian mahal. (Kompas, 23 Januari 2016)
Kepala Seksi Pengujian Produk Hewan Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian Imron Suady memaparkan, resistensi antibiotik di sektor peternakan marak akibat penggunaan berlebih antibiotik sebagai pendorong pertumbuhan hewan ternak. ”Sekitar 98 persen bakteri yang diisolasi dari produk hewan, yakni daging ayam, resisten terhadap minimal satu antibiotik. Ini berisiko bagi konsumen,” ujarnya.
Menurut Imron, resistensi anti mikroba sebenarnya merupakan fenomena alamiah. Namun, proses resistensi anti mikroba itu terjadi lebih cepat karena pemakaian antibiotik tidak bijak.
Pengarah Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Kuntaman mengatakan, resistensi antibiotik di sektor kesehatan masyarakat umumnya terjadi karena penggunaan tidak tepat pada penyakit infeksi ringan atau penyakit akibat virus. Penyebab lain adalah pemakaian tidak rasional karena tidak ada sarana diagnostik dan penggunaan tidak tepat oleh masyarakat.
Karena resistensi anti mikroba juga terjadi di sektor kesehatan hewan, pendekatan dalam pengendalian resistensi anti mikroba harus lebih terintegrasi. Saling berbagi data, pola resistensi, dan strategi pengendalian adalah upaya yang bisa dilakukan antar-pemangku kepentingan.
Akses Terhadap Antibiotik
Imron mengatakan, resistensi anti mikroba bisa terjadi karena akses terhadap antibiotik yang mudah sementara pengawasan penggunaannya belum optimal.
Di sektor peternakan, misalnya, akan sulit mengawasi penggunaan antibiotik oleh peternak yang 70 persen adalah peternakan rakyat.
Partisipasi warga
Menurut pendiri Yayasan Orang Tua Peduli Purnamawati Sujud, pengetahuan masyarakat tentang resistensi antibiotik belum merata sehingga perlu diedukasi agar lebih bijak menggunakan antibiotik. Di sisi lain, dokter turut berkontribusi terhadap terjadinya resistensi anti mikroba sehingga seharusnya tidak hanya meresepkan obat tanpa menjelaskan pada pasien.
Urusan Ekonomi dan Politik
Purnamawati menyatakan, resistensi anti mikroba tidak sekadar urusan kesehatan, tetapi juga ekonomi dan politik.
Perlu komitmen yang kuat dari berbagai pihak untuk berubah dan bekerja sama mengendalikan resistensi anti mikroba.
”Semua pihak harus bekerja sama mengendalikan resistensi anti mikroba,” ujarnya. Masyarakat bisa berperan mengendalikan resistensi antimikroba. Caranya dengan tidak mengonsumsi antibiotik saat terserang influenza, diare akut tanpa darah, campak, ataupun cacar.
Pada Pertemuan Menteri Kesehatan Asia Terkait Resistensi Anti Mikroba di Tokyo, Jepang, Sabtu (16/4), menteri kesehatan dari 12 negara Asia Pasifik membahas pendekatan One Health dalam menanggulangi resistensi anti mikroba. Melalui pendekatan itu, selain sektor kesehatan, sektor pertanian dan lingkungan turut mengatasi kasus kuman kebal pada anti mikroba.
Kegagalan atau keterlambatan menangani resistensi anti mikroba atau AMR dinilai berdampak negatif terhadap kesehatan, ekonomi, ketahanan pangan, dan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, menegaskan komitmen Indonesia mengendalikan AMR. Salah satunya dengan menerapkan program pengendalian resistensi anti mikroba di 144 rumah sakit rujukan dan puskesmas di lima provinsi sebagai proyek percontohan.
Pada April ini, Pemerintah Indonesia mengkaji ulang program pengendalian resistensi anti mikroba dan menyempurnakan rencana aksi nasional resistensi anti mikroba. (ADH)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 April 2016, di halaman 14 dengan judul “Resistensi Anti Mikroba Belum Terkendali”.