Masalah keberlanjutan media terkait dengan tiga hal, yaitu pembagian konten, pendapatan, dan data. Dibutuhkan kesetaraan dan keadilan antara media massa dengan platform digital global dalam mengelola ketiganya
Kelompok Kerja Keberlanjutan Media mengidentifikasi masalah-masalah keberlanjutan media yang terkait dengan tiga hal, yaitu pembagian konten, pendapatan, dan data antara media massa dengan platform digital global. Mereka merumuskan aturan bersama agar media massa dan platform digital global memiliki kesetaraan dan keadilan dalam pembagian konten, pendapatan, maupun data.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Anak-anak mencoba permainan dalam jaringan dari google yang memberi panduan bagi anak mengenai dasar-dasar keamanan berinternet dalam acara peluncuran program tangkas berinternet (#tangkasberinternet) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Senin (10/2/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menindaklanjuti rekomendasi Hari Pers Nasional di Banjarmasin 9 Februari 2020, Dewan Pers membentuk Kelompok Kerja Keberlanjutan Media (Taskforce Media Sustainability). Kelompok ini dipimpin Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers, Agus Sudibyo.
“Semangatnya tidak anti plaform tapi bagaimana platform dan media massa bisa koeksisten, setara, saling menghidupi, dan saling menguntungkan. Kita tidak mungkin berbicara jurnalisme berkualitas tanpa adanya keberlanjutan media. Keberlanjutan di bisnis media sangat penting sebagai saka guru untuk mengembangkan jurnalisme yang bermartabat dan beretika,”kata Agus dalam diskusi Kelompok Kerja Hubungan Antar Lembaga Dewan Pers dengan tema “Keberlanjutan Media di Era Digital”, Rabu (26/2/2020) di Menara Kompas, Jakarta.
Dikuasai platform
Agus mencontohkan tentang pemanfaatan data perilaku pelanggan yang semestinya bisa dimiliki kedua belah pihak, baik media massa maupun platform digital global (Google, Facebook, Amazon, dan lain-lain) karena data tersebut didapatkan dari pemanfaatan konten milik media massa. Namun demikian, selama ini platform digital global cenderung menguasai data tersebut. Situasi serupa juga terjadi dalam pembagian pendapatan iklan yang tidak transparan serta penayangan konten yang kurang sensibel dengan hal-hal negatif.
“Mesin pencari selama ini tak peduli hoaks. Apapun yang banyak dilihat pembaca meski hoaks tetap masuk daftar tertinggi. Kita dorong agar sistem menerapkan filter,” ujar Ketua Forum Pemimpin Redaksi, Kemal Effendi Gani.
Oleh ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN, ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 27 Februari 2020