Rela Tertular Covid-19

- Editor

Rabu, 8 Juli 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

CATATAN IPTEK
Survei yang menunjukkan sebagian besar masyarakat merasa tak akan tertular Covid-19 merupakan alarm masalah sosial. Persepsi itu bisa membawa kasus penularan yang kian tak terkendali.

Ratusan orang menyerbu Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, untuk mengambil paksa jenazah pasien positif Covid-19 pada Senin (6/7/2020) malam. Mereka menolak korban ditangani sesuai protokol kesehatan.

Tak hanya sekali ini, penjemputan paksa jenazah korban Covid-19 sudah berulang terjadi di Mataram dan banyak daerah lain di Indonesia. Padahal, pengambilan paksa jenazah pasien positif Covid-19 telah membentuk kluster penularan baru. Seperti terjadi di Makassar, mereka yang memaksa menjemput jenazah keluarga kemudian positif Covid-19 (Kompas, 10 Juni 2020).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pengabaian protokol kesehatan ini menjadi alarm adanya masalah sosial serius. Hal ini bakal menyulitkan upaya memutus siklus penularan penyakit yang telah menginfeksi 66.226 orang di Indonesia per Selasa (7/7/2020) ini.

Jika mengacu pada model Elisabeth Kübler-Ross dalam bukunya, On Death and Dying (1969), sikap masyarakat ini seolah mereka telah mencapai fase penerimaan (acceptance) dari lima tahapan psikologis dalam menghadapi kematian dan tragedi. Ini merupakan tahapan terakhir setelah penyangkalan, kemarahan, menawar, dan depresi.

Masalahnya, kenapa sebagian masyarakat kita sampai pada tahap pasrah sehingga cenderung mengabaikan risiko tertular Covid-19?

Pertama-tama kita mesti memahami bagaimana sebenarnya persepsi risiko masyarakat terhadap Covid-19. Dengan memahami bagaimana orang memersepsikan risiko dan memilih tindakan berdasarkan pemahaman mereka, kita seharusnya bisa menghindarkan terjadinya dampak bencana yang lebih besar.

Survei oleh Social Resilience Lab Nanyang Technological University dan Laporcovid19.org yang dirilis pada Minggu (5/7/2020) memberi gambaran mengenai persepsi risiko itu. Survei daring sejak 29 Mei hingga 20 Juni 2020 ini mengumpulkan informasi dari 206.550 responden di Jakarta dan 154.471 responden di antaranya valid untuk dianalisis.

Di antara temuan penting survei ini adalah 77 responden beranggapan tidak mungkin tertular Covid-19, demikian juga orang dekat ataupun yang tinggal di lingkungan sekitar. Selain itu, dibandingkan Covid-19, warga lebih khawatir dengan tekanan ekonomi karena sulitnya bekerja dan minimnya bantuan sosial. Mayoritas responden mengaku ekonomi mereka terdampak dari level cukup besar 33 persen, besar 17 persen, hingga sangat besar 26 persen.

Seperti dikemukakan psikolog J Richard Eiser dan tim (International Journal of Disaster Risk Reduction, 2011), selain tekanan lingkungan, persepsi risiko dibentuk oleh pengetahuan, perasaan dan nilai-nilai, kepercayaan budaya, serta dinamika interpersonal atau masyarakat. Pengetahuan bisa dibentuk oleh pengalaman individu ataupun informasi dari pihak lain, terutama dari sumber-sumber yang dipercaya.

Terkait pengetahuan ini, 18 persen responden meyakini bahwa Covid-19 ini merupakan rekayasa manusia, hanya 23 persen tidak setuju, dan 58 persen menjawab tidak tahu. Sementara terkait pertanyaan apakah Indonesia aman karena beriklim tropis, 26 persen membenarkannya, 45 persen menjawab salah, dan 28 persen tidak tahu.

Analisis korelasi menunjukkan, mereka yang tidak percaya Covid-19 sebagai rekayasa manusia mayoritas memiliki tingkat kepercayaan tinggi kepada dokter dan pakar kesehatan. Sementara yang menyatakan Indonesia aman dari Covid-19 karena beriklim tropis ternyata memiliki kepercayaan tinggi terhadap pemerintah dan influencer.

Data ini menunjukkan bahwa bias informasi di masyarakat bisa bersumber dari otoritas, yang sejak awal cenderung menyangkal risiko. Kita tentu ingat dengan deretan penyangkalan ini, mulai dari menyamakan Covid-19 dengan flu biasa, tingkat kematian yang kecil, hingga deretan lelucon, seperti Indonesia aman karena doa.

Bahkan, ketika wabah sudah melanda, upaya yang selalu dibangun adalah menenangkan masyarakat, semisal tidak membuka data total kematian (excess death) terkait Covid-19. Jumlah korban jiwa yang diumumkan pemerintah tiap hari hanya mereka yang dinyatakan positif. Korban meninggal dengan status orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) tetap tak diumumkan hingga kini.

Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memberi panduan, korban Covid-19 bisa dikategorikan yang sudah terkonfirmasi melalui tes usap, diagnosis terkonfirmasi, dan diagnosis klinis. Akibatnya, data korban di Indonesia seolah kecil. Misalnya, pada Senin (6/7/2020) baru tercatat 3.241 korban. Padahal, data pada pusat data Bersatu Lawan Covid-19 milik Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, jumlah orang yang meninggal di rumah sakit terkait Covid-19, termasuk PDP dan ODP, telah mencapai 14.123 orang.

Pilihan komunikasi ini agaknya diinspirasi dari pemikiran pendeta dan psikoterapis Anthony de Mello dalam buku spiritualnya, The Hearth of the Enlightened (1967), yang dikutip dalam lampiran Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/199/2020 tentang Komunikasi Penanganan Covid-19. Kutipan yang diambil dari buku De Mello dalam panduan komunikasi risiko ini adalah jumlah korban bisa menjadi lima kali lipat kalau terjadi ketakutan dalam menghadapi wabah.

Prinsip ini yang menjadikan Kementerian Kesehatan dalam presentasinya memilih menggunakan pendekatan 80 persen psikologi dan 20 persen medis. Dan pilihan ini telah menuai hasil dengan ”keberanian” masyarakat mengabaikan risiko, seperti ditunjukkan sebagian masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan, termasuk dengan menjemput paksa jenazah korban positif Covid-19.

Dengan menutupi skala sesungguhnya dari wabah dan risiko, masyarakat mungkin tidak panik. Namun, hal ini juga bisa memicu pengabaian risiko.

Bagaimana mau mengajak masyarakat taat protokol kesehatan jika bahaya dan dampak wabah tidak dibuka transparan? Seperti direkomendasikan sejumlah peneliti komunikasi bencana, Matthew Collins, Karen Neville, William Hynes, dan Martina Madden (Journal of Decision System, 2016), dalam menghadapi bencana, komunikasi krisis harus disampaikan dengan informatif, selain juga jujur dan transparan.

Oleh AHMAD ARIF

Editor ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 8 Juli 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB