Indonesia menghadapi tugas berat mewujudkan visi negara kesejahteraan pada 2045. Riset dan pendidikan tinggi yang masih dianaktirikan adalah batu sandungan.
“Untuk memiliki total faktor produktivitas tinggi pada 2045, jalannya cukup terjal. Anggaran riset belum memadai,” kata Chairil Abdini, penyusun Buku Putih Sains, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Menuju Indonesia 2045 di Jakarta, Jumat (12/5).
Buku tersebut bersama buku lain berjudul Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia diserahkan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) kepada Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dua buku masing-masing menyodorkan rekomendasi kepada pemerintah untuk kebijakan riset ataupun pendidikan tinggi. Beberapa contoh seperti perekrutan dan peningkatan kualitas guru, dosen, dan peneliti serta percepatan perbaikan gizi.
Dalam forum terungkap bahwa pertumbuhan pendapatan per kapita seiring dengan populasi bisa dinikmati oleh negara-negara seperti Amerika, China, dan Jepang karena penguasaan sains dan teknologi. Hal ini relevan dengan situasi di Hongkong, Korea Selatan, dan Taiwan, publikasi ilmiah, riset, dan paten berkontribusi terhadap ekonomi.
Demi terhindar dari perangkap pendapatan menengah, dua langkah yang bisa diambil adalah meningkatkan total faktor produktivitas melalui riset dan pendidikan tinggi serta memasukkan kapital dalam jumlah besar seperti yang dilakukan Singapura sehingga bisa bersaing dengan Hongkong pada era 1970-1980an. Langkah kedua sulit dilakukan Indonesia karena lebih banyak negara yang menarik untuk menarik modal, ditambah ketidakpastian regulasi.
Porsi anggaran riset
Porsi anggaran untuk riset dan pengembangan terhadap anggaran di Indonesia baru 0,1 persen, sementara Malaysia 1,25 persen dan Singapura 2,2 persen. Sebanyak 80 persen anggaran riset masih datang dari pemerintah. Sementara di negara maju, kontribusi swasta sampai 70 persen.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemristek dan Dikti Muhammad Dimyati mengatakan, pemerintah memiliki skala prioritas dan rentang waktu program sebelum menjalakan program. Terkait kualitas dosen, sedikitnya butuh waktu 10 tahun untuk membenahinya. Saat ini tengah didorong publikasi ilmiah dari para akademisi. Science and Technology Index (Sinta) adalah satu upaya untuk mendorong jumlah publikasi jurnal. Hingga akhir April sudah diakses 4 juta orang dari Asia, 800.000 dari Amerika, dan 600.000 dari Eropa. (ELD)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Mei 2017, di halaman 14 dengan judul “Jalan Terjal Visi Emas 2045”.