Pembangunan pulau-pulau baru hasil reklamasi di Teluk Jakarta bisa menjadi preseden buruk pembangunan kawasan pesisir di Indonesia. Tidak hanya merusak lingkungan, reklamasi itu juga bisa menambah kerentanan masyarakat nelayan atas dampak perubahan iklim.
“Reklamasi di Teluk Jakarta hanya akan menjadi masalah baru. Untuk mengatasi masalah di Teluk Jakarta seharusnya restorasi ekologi, bukan reklamasi,” kata Alan Koropitan, ahli kelautan yang juga Lektor Kepala Bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), di Jakarta, Senin (25/1).
Restorasi Teluk Jakarta bisa mencontoh Teluk Chesapeake di Maryland, Amerika Serikat. Di sekitar teluk itu juga ada pelabuhan sibuk dan banyak sungai, seperti Teluk Jakarta. Namun, restorasi sejak tahun 1980-anmengembalikan daya dukung ekologi sehingga menopang para nelayan. “Selama ini, contoh yang menjadi acuan pembangunannya keliru. Seolah-olah reklamasi identik kemajuan,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Alan, secara alami teluk memiliki mekanisme membersihkan limbah perairan. Dengan membangun pulau-pulau baru di Teluk Jakarta, pola arus laut akan berubah. Sirkulasi arus di tengah teluk dipastikan melemah sehingga memperpanjang waktu untuk pembersihannya.
Perubahan arus laut juga dikhawatirkan ahli kelautan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko. “Reklamasi ini karena dilakukan saat masih ada pembahasan apakah fase B dan C untuk National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) akan dilanjutkan atau tidak,” kata Widjo yang beberapa kali diundang mengikuti pembahasan NCICD.
Proyek NCICD merupakan proyek raksasa yang lama digagas untuk membangun kawasan pantai utara Jakarta. Fase pertama proyek berupa pembangunan tanggul pesisir sudah dilakukan. Fase berikutnya, meliputi reklamasi 17 pulau dan tanggul laut raksasa masih terus dikaji, menyusul banyaknya kritik.
Namun, saat ini Pemprov DKI Jakarta terus membuat pulau di Teluk Jakarta. Widjo sebelumnya memodelkan rencana pembangunan tanggul laut dan reklamasi pulau-pulau di Teluk Jakarta. Hasilnya, akan terjadi perubahan signifikan terhadap pola hidrodinamika, transpor sedimen, dan penurunan mutu air.
Langkah adaptasi
Alan mengatakan, pembuatan pulau-pulau baru juga dipastikan akan menurunkan keanekaragaman hayati laut dan pesisir. Berikutnya, berdampak pada penurunan kapasitas adaptasi masyarakat nelayan terhadap iklim.
Terkait perubahan iklim, masyarakat miskin, khususnya kalangan nelayan, merupakan kelompok terentan. “Seharusnya diperkuat kapasitas adaptasinya, bukan malah dihabisi. Penguatan ini salah satunya bisa memulihkan ekologi,” kata Alan.
Ia khawatir, reklamasi itu jadi preseden buruk bagi daerah lain. “Kalau Jakarta sukses membangun 17 pulau buatan, akan diikuti banyak daerah,” katanya.
Gugatan atas pembangunan pulau-pulau buatan itu juga disampaikan Komunitas Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Menurut Ketua KNTI Jakarta M Taher, belum selesai sengketa izin reklamasi Pulau G, Gubernur menerbitkan izin reklamasi tiga pulau lain: Pulau F, Pulau I, dan Pulau K pada akhir 2015.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, reklamasi akan tetap jalan. Bahkan, 17 pulau akan dilepaskan DKI Jakarta. “Enggak ada urusan dengan kita. Yang penting sertifikatnya punya DKI,” katanya. Rencana pembangunan itu, kata Basuki, ada sejak era Orde Baru.
Soal tanah uruk yang diambil dari Tangerang dan pengaruhnya, Basuki mengatakan bahwa itu bisa penuh perdebatan. “Bagi saya, kapal keruk itu tidak berbahaya selama jalurnya tidak ngacak,” katanya.
Basuki menambahkan, “Kalau kalian (masyarakat) bisa gugat, saya lebih suka daripada saya membatalkan, saya yang akan digugat karena bukan saya yang kasih izin. Saya tidak bisa stop, tetapi saya bisa perbaiki izin dan bahwa Anda harus kasih saya jatah dari penjualan tanah. Tanah itu milik DKI, hanya 5 persen yang bisa dijual.”
Kalau reklamasi itu terus berjalan, menurut rencana, Pemprov DKI Jakarta akan mendirikan apartemen-apartemen untuk para pegawai. (AIK/ISW)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Januari 2016, di halaman 13 dengan judul “Reklamasi Jakarta Preseden Buruk”.