Indonesia adalah hutan. Indonesia adalah paru-paru dunia. Dalam isu REDD+, Indonesia di garis depan. Indonesia masuk dalam sorot panggung dunia ketika lima tahun lalu menandatangani surat niatan (letter of intent) bersama Norwegia untuk pelaksanaan REDD+. Norwegia menyediakan bantuan pendanaan 1 miliar dollar AS atau setara Rp 13,3 triliun.
Pendekatan pembangunan yang berubah di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo membawa perubahan pada institusi pengelola REDD+. Badan Pengelola REDD+ dilebur ke dalam tubuh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menghadapi perubahan itu dan untuk melihat perjalanan surat niatan (LOI), Kompas mewawancarai Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Stig Traavik, sehari sebelum lima tahun usia LOI, Senin (25/5), di Jakarta.
Kompas (K): Bagaimana Anda melihat lagi surat niatan itu?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Stig Traavik (ST): Indonesia mengejutkan banyak pihak ketika mengumumkan target ambisius (pengurangan emisi gas rumah kaca 26 persen-dari proyeksi tanpa intervensi-secara mandiri dan 41 persen dengan bantuan luar). Indonesia ingin melindungi hutan lebih banyak.
Namun, banyak hal berlangsung tidak sesuai dengan LOI. Indonesia, dalam periode transisi, mengorganisasi dua kementerian dan meletakkan Dewan Iklim dan Badan REDD+ dalam kementerian. Ini positif. Tentu kami amat ingin melihat mitra kami mapan karena beberapa bagian kerja sama baru bisa berlanjut jika organisasinya tertata.
Untuk beberapa hal memang terlambat, tetapi lebih pada sisi institusi. Kalau angka dari World Resources Institute Indonesia (WRI Indonesia) benar-tentang penurunan deforestasi menjadi 450.000 hektar dari sekitar 1,5 juta hektar-Indonesia ada di jalur yang benar, yaitu mengurangi deforestasi. Ini positif dari segi hasil, tetapi ketinggalan dalam hal institusi.
Pada tahun 2010, orang berpikir perusahaan besar di Indonesia adalah bagian dari masalah, sekarang banyak perusahaan besar adalah bagian dari solusi. Seperti Wilmar, yang disalahkan soal deforestasi, sekarang berjanji deforestasi nol. Juga RAPP, yang disalahkan banyak LSM, sudah bekerja sama dengan Greenpeace untuk deforestasi nol. Ini ujian.
Perusahaan sebagai bagian dari masyarakat tak bisa melihat LSM sebagai musuh dan perlu berdialog agar lebih mengerti dan berkomitmen menghentikan deforestasi sebagai perusahaan yang bertanggung jawab.
Hutan itu penting untuk pertanian di Indonesia. Tidak ada hutan, tidak ada air. Suhu lokal akan naik banyak dan memengaruhi pola cuaca lokal.
Hutan dulu dianggap mati secara ekonomi. Padahal, ada ekonomi riil. Hitung hasil sayur, buah, daging dari berburu, rotan dari hutan tanpa merusak. Itu nilainya besar sekali.
Perhatian positif pemerintah soal peran dan pengakuan terhadap masyarakat adat. Ini keputusan penting (landmark), perlu ditindaklanjuti karena mendapat banyak perhatian internasional.
K: Lalu, kelanjutan LOI?
ST: Dalam (konferensi perubahan iklim) Paris nanti, kami ingin kerja sama Norwegia-Indonesia sudah selangkah lebih maju. Keputusan amat penting diambil saat kunjungan Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg (April 2015). PM Solberg dan Presiden Jokowi menugaskan kedua menteri lingkungan membuat joint statement untuk menguraikan secara lebih tegas langkah-langkah praktis berikutnya. Diharapkan bisa dilakukan sebelum bulan puasa ini.
(April lalu, PM Solberg berkunjung ke Jambi. Kunjungan berlangsung dalam kondisi jalanan gelap, licin, dan hujan. Dia berdiskusi dengan perusahaan dan masyarakat Orang Rimba untuk mengetahui apa yang bisa dilakukan guna membantu)
Norwegia berkomitmen tidak melakukan perdagangan karbon pada LOI. Kalau Indonesia melindungi hutan, kami akan berkontribusi agar bisa berkelanjutan. Kami mengikuti Indonesia dan siap untuk mendukung. Kami siap dan kami tetap siap.
K: Jika dibandingkan dengan Brasil (juga dibantu Norwegia)?
ST: Pembangunan Brasil dan Indonesia amat paralel. Brasil sekitar 10-15 tahun lalu deforestasinya amat tinggi, sekarang ada kemajuan karena perusahaan berkomitmen terapkan deforestasi nol.
Brasil memiliki National Development Bank yang ada jendela untuk penyaluran pendanaan. Indonesia harus memutuskan, ada jendela sendiri atau melalui ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund). Saya harap tahun ini selesai, ada sarana dan struktur ada. Dana yang sudah dipakai baru sedikit sekali, 50 juta-60 juta dollar AS. Masih ada 950 juta dollar AS.
Di Brasil, ada komitmen perusahaan, ada pelibatan LSM dan masyarakat. Semua berkontribusi positif. Ada Brasilian Project yang memutuskan masa depan Brasil akan buruk tanpa hutan dan bantuan kami diterima.
K: Perpanjangan moratorium banyak dikritik karena tidak ada penguatan. Pendapat Anda?
ST: Diperpanjang itu bagus. Kalau diperkuat, akan lebih bagus. Namun, poin kunci adalah implementasi. Kasus Rawa Tripa (Aceh) amat penting karena semua peraturan hukum secara penuh digunakan (pendekatan multidoor).
Sama, Indonesia harus memutuskan alasannya sendiri mengapa melindungi hutan. Misal petani di Riau, menghentikan pembakaran bukan karena perubahan iklim. Namun, karena buruk untuk anak-anak, melanggar hukum, dan karena ada peluang lain. Itu karena ada kebijakan yang baik. Kalau alasannya perubahan iklim, itu terlalu jauh, tidak membumi, sehingga (perilaku) sulit berubah.
Ini proses penting. Indonesia melindungi hutan karena melihat ke depan, seperti apa Indonesia nanti. Ini harus dilakukan untuk kepentingan dan alasan jangka panjang.
Saya percaya, jika Indonesia sebagai bangsa lebih peduli tentang masa depan dan menjaga dengan baik sumber daya alamnya, bantuan internasional akan datang dan itu bermanfaat.– BRIGITTA ISWORO LAKSMI
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Indonesia Peduli, Dunia Bantu”.
Posted from WordPress for Android