Zaman boleh serba canggih. Rasionalitas pun makin maju. Namun, manusia tetap memburu ramalan nasib dan masa depan karena otak manusia sangat tidak suka ketidakpastian.
Setiap jelang pergantian tahun, ramalan tentang apa yang akan terjadi di tahun hadapan ramai diulas sejumlah media. Dasar ramalan pun beragam, baik astrologi barat, astrologi timur, maupun terawang ‘orang pintar’ yang dianggap bisa membaca tanda-tanda masa depan.
Di luar tahun baru, informasi ramalan bintang juga sering muncul di media massa. Meski dianggap tidak ilmiah, prediksi tentang nasib seseorang itu tetap memiliki peminat tersendiri. Bahkan di era digital sekalipun, generasi Z tetap ada yang meminati kabar tentang zodiak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Percaya dengan astrologi berarti meyakini posisi benda langit dan perubahannya memengaruhi perilaku manusia. Akar astrologi itu sudah ada sejak 1500 tahun sebelum masehi, di era Babilonia. Bukan hanya bangsa Babilonia yang punya ramalan, berbagai etnis pun mengembangkan sendiri pengetahuan astrologinya, termasuk suku-suku Nusantara hingga lahir beragam versi ramalan.
Ketertarikan terhadap berita ramalan itu berlaku global, termasuk di negara-negara maju yang dianggap tingkat pendidikan dan rasionalitas warganya lebih baik.
Jajak pendapat Gallup di Britania Raya, Kanada dan Amerika Serikat pada 1975-1996 menunjukkan 25 persen orang dewasa di negara-negara itu percaya ramalan horoskop. Sementara survei Harris Poll di 2013 menunjukkan 29 persen orang AS percaya astrologi.
Sementara itu, survei National Science Foundation di AS pada 2012 menunjukkan 32 persen orang AS percaya astrologi sedikit ilmiah dan 10 persen mengakuinya sangat ilmiah. Namun yang menganggap astrologi tidak ilmiah sama sekali mencapai 55 persen, turun dibanding 66 persen dari survei sejenis pada 2004.
Menyukai kepastian
Manusia menyukai ramalan karena ramalan menawarkan informasi dan jaminan situasi masa depan. Gambaran kehidupan mendatang itu dibutuhkan karena manusia sangat tidak menyukai ketidakpastian. Dengan ramalan, manusia bisa mengambil langkah antisipasi untuk menghindari dari hal-hal yang tak diinginkan.
“Masa depan itu tidak pasti. Padahal, manusia suka dengan yang pasti-pasti,” kata Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi Manado Taufiq Pasiak, Jumat (3/1/2020).
Desain otak manusia adalah mencari hal-hal yang menyenangkan dan menghindari sesuatu yang membuat susah. Kekaburan masa depan adalah hal yang tidak disukai manusia karena menimbulkan kekhawatiran, ketakutan hingga kecemasan. Dengan membawa masa depan ke masa sekarang melalui ramalan, ketakutan itu diatasi, cemas hilang dan senang pun datang.
Padahal, masa depan yang ingin diantisipasi itu belum tentu menyakitkan atau membahayakan. Namun, dominannya sistem limbik atau emosi di otak manusia dalam pengambilan keputusan sehari-hari dibanding sistem rasional membuat langkah antisipatif manusia lebih mengemuka walau kadang tak dibutuhkan.
Di luar soal antisipasi, ahli psikologi kognitif Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Galang Lufityanto menilai manusia suka ramalan bintang untuk dijadikan sebagai sarana rekreasi atau hiburan semata. Rasa ingin tahu yang besar ditambah hasrat untuk membuktikan kebenaran ramalan membuat banyak orang muda, termasuk generasi milenial, menyukai informasi astrologi.
Ditemukannya kecocokan penggambaran dari ramalan dengan kondisi diri adalah hal yang sangat wajar mengingat ramalan umumnya disusun menggunakan kata-kata yang sangat umum. Namun, temuan kecocokan itu akan menimbulkan rasa antusias dan perasaan positif.
“Ini adalah bentuk perilaku mencari penghargaan (reward seeking behaviour) yang dipicu oleh hormon dopamin dan akan membuat seseorang mengulang kembali perilakunya di masa depan,” katanya.
Kesesuaian ramalan itu juga bisa terjadi karena bias kognitif. Sebagian orang berusaha mencari peristiwa tertentu untuk mengonfirmasi kebenaran yang bias dari sebuah ramalan. Rendahnya kemampuan memprediksi kemungkinan yang akan datang membuat seseorang lebih memercayai gejala paranormal pada dirinya.
Meski demikian, sebagian orang memercayai ramalan sebagai hal yang serius. Dari sejumlah studi, mereka yang meyakini ramalan bintang sebagai kebenaran umumnya memiliki stres dalam tingkat tertentu terkait peran sosial dan hubungannya dengan orang lain.
“Membaca dan memercayai ramalan bintang bisa menjadi salah satu cara untuk menghadapi atau mengatasi stres,” tambahnya.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 4 Januari 2020