Fenomena kemunculan jenis ikan terbesar di dunia, hiu paus (“Rhincodon typus”) di Teluk Tomini, Gorontalo, mengundang daya tarik publik. Hampir di seluruh perairan Indonesia pernah dilaporkan kehadiran ikan yang panjangnya bisa belasan meter itu. Namun, kemunculan di perairan Desa Botubarani, Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, itu istimewa. Lokasinya 20-30 menit dari kota. Dari pesisir, cukup 10 menit dengan kapal kayu.
Kondisi geografis bawah laut setempat, yang dekat dengan tubir sedalam 40-100 meter, adalah lokasi sempurna menikmati kehadiran hiu paus. Fenomena serupa yang lebih dulu dikenal ada di Teluk Cenderawasih, Papua. Pengunjung harus menyewa kapal mesin untuk tiga jam perjalanan dari Nabire.
Rabu sore lalu, ditemani Wakil Sekjen DPP Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) Verrianto Madjowa, setiba di Bandara Jalaluddin, Gorontalo, Kompas langsung menuju perairan itu. Di area yang dua hari sebelumnya ditutup total atas perintah Gubernur Gorontalo Rusli Habibie itu-untuk memberi waktu menyiapkan pengelolaan-lebih dari lima perahu beroperasi. Pukul 17.30 Wita, saat atraksi ditutup, sebuah perahu terbalik. Tak ada yang terluka, hanya telepon seluler dan kamera terendam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski kurang dari 10 perahu kecil di lokasi, perairan itu terlihat penuh saat snorkeling mengamati munggiango hulalo, sebutan lokal bagi hiu paus. Tak terbayangkan akhir pekan kemarin, saat 50 perahu beroperasi yang masing-masing membawa 3-4 pengunjung. Saat itu juga terjadi perahu terbalik.
Euforia sangat tinggi itu bisa dimaklumi. Meski disebut hiu paus, sosok ikan raksasa itu sangat ramah dan jinak. Berenang perlahan bahkan cenderung lambat. Perangai itu mengundang rasa penasaran.
Hiu yang dilindungi penuh di Indonesia itu memiliki cara makan unik, yakni menyedot dan menyaring makanannya. Bukan menggigit dan mencabik daging seperti hiu umumnya yang kita kenal. Sungguh jauh dari kerabatnya sesama hiu yang berenang cepat dengan susunan gigi runcing tajam dan ganas.
Meski tampak menggemaskan-dengan mata bulat di samping-bukan berarti tak berisiko. Bukan karena perangainya yang buas seperti gambaran hiu dalam film Jaws, melainkan ukuran tubuh raksasanya. Panjang tubuhnya bisa belasan meter sehingga butuh energi besar untuk bergerak.
Sapuan ekornya sebagai pendorong bisa membahayakan manusia yang terlalu dekat berinteraksi. “Dua kali saya kena kibasan ekornya. Pertama, membuat masker snorkel saya terlepas. Kedua, mengenai perut yang membuat saya keram,” kata Mahardika Rizqi Himawan, peneliti hiu paus dari Whale Shark Indonesia, kerja sama riset Institut Pertanian Bogor dan WWF Indonesia di sela-sela pengamatan dan pengambilan sampel DNA hiu paus di Bone Bolango.
Risiko terlalu dekat dengan ikan bertotol putih itu bisa menyakitkan. Kulitnya keras. Susunan kulitnya seperti ampelas kayu yang jika tergesek pada posisi berlawanan akan menimbulkan luka. Bagi penyelam yang mudah panik juga harus hati-hati. Gelembung-gelembung udara dari pernapasan penyelam mengundang penasaran hiu paus yang akan mendatangi karena menyangka itu kumpulan ikan kecil mangsanya.
Itu pula yang dialami Kompas yang Kamis lalu menyelam bersama Noldi, pemandu selam dari Aqua Diving Center Gorontalo. Hampir satu jam penyelaman pada kedalaman 5-20 meter, tiga kali hiu paus mendatangi secara tegak lurus, mengarah kepala.
Kedatangan itu mengagetkan. Apalagi, kami masih terpesona melihat pemandangan empat hiu paus yang menuju permukaan, menyedot pakan yang diberikan pemandu perahu.
Kurang dari 2 meter dari posisi kami, hiu paus membelokkan tubuh setelah melihat gelembung udara bukan kumpulan ikan kecil. Kelegaan belum hilang ketika libasan ekornya hampir mengenai kepala kami.
Meski berukuran panjang 4-7 meter, raksasa laut itu masih terhitung anak-anak. “Ini masih juvenile. Hiu paus berukuran dewasa menghabiskan waktu di kedalaman lebih dari 100 meter,” kata Mahardika yang mulai meneliti hiu paus di Teluk Cenderawasih pada 2013 untuk menyelesaikan skripsinya.
Selama mengkaji kehadiran hiu paus di Teluk Cenderawasih, Pulau We (Aceh), Talisayang (Berau, Kaltim), dan Probolinggo (Jawa Timur) belum pernah dijumpainya hiu dewasa. Selain itu, hiu paus yang ditemukannya umumnya berkelamin jantan.
Tiga hari di Bone Bolango, Mahardika mencatat tujuh individu hiu paus berbeda, semuanya jantan. Di Teluk Cenderawasih, per Maret 2014, tercatat 96 individu dengan 72 pejantan, 4 betina, dan 20 belum diketahui.
Selain mencatat individu-dibedakan berdasarkan formasi totol-totol putih di insang kelima dan ujung sirip dada-penelitian juga pada genetika dan karakter lingkungan. Penelitian terlengkap di Indonesia pada 2013-dengan pemasangan alat penanda satelit-menunjukkan hiu paus di Teluk Cenderawasih bermigrasi bolak-balik hingga jarak 1.700 km ke perairan Palau dan menghabiskan hidup pada kedalaman 100-200 meter.
Mahardika mengatakan, dari berbagai hiu paus yang terdata individunya di Indonesia, baru tercatat kemunculan hiu paus yang sama di Talisayang (Berau) dengan hiu paus di Pontianak. Misteri-misteri kehidupan hiu paus masih jadi pekerjaan rumah yang belum terjawab. Seluruh perairan Indonesia hampir jadi perlintasan atau tercatat kemunculan hiu paus.
Namun, dikutip dari laman seethewild.org, Indonesia tak masuk negara hospot untuk menyaksikan migrasi hiu paus. Di Asia Tenggara, disebut Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Di perairan Botubarani, kemunculan hiu paus mulai rutin sejak tiga tahun terakhir. Hal itu karena aktivitas pabrik pengoalahan udang yang membuang karapas udang di perairan itu. Udang makanan utama hiu paus, selain plankton dan ikan kecil yang berenang lambat.
Tidak ada binatang predator ikan yang bisa berumur hingga 70 tahun itu. Satu-satunya musuh adalah manusia yang menempatkannya pada status rentan dan terus berkurang di alam (versi Badan Konservasi Dunia/IUCN). Ancaman langsung adalah perburuan sirip hiu paus untuk obat tradisional. Secara tak langsung, ancaman terkait berkurangnya habitat mangsa, pencemaran laut, tertabrak kapal, serta penyelaman dan pariwisata yang tak bertanggung jawab.
ICHWAN SUSANTO
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 April 2016, di halaman 6 dengan judul “Raksasa Ramah di Pantai Botubarani”.