Quick Count dan Demokrasi di Indonesia

- Editor

Sabtu, 8 Mei 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

QUICK count atau penghitungan cepat didefinisikan sebagai proses pencatatan hasil tabulasi perolehan suara pemilu di tempat pemungutan suara (TPS) yang dipilih secara acak. Dengan hanya mengambil ribuan sampel TPS, penyelenggara quick count dapat memprediksi siapa pemenang pemilu dalam hitungan jam.

Penghitungan cepat sendiri sebenarnya berakar pada sejarah kebangkitan masyarakat sipil di Filipina. Masyarakat sipil di sana; yang dimotori LSM dan gereja, membentuk lembaga pengawas pemilu National Citizens Movement for Free Elections (Namfrel/gerakan nasional warga negara untuk pemilu yang bebas). Mereka khawatir presiden yang berkuasa ketika itu, Ferdinand Marcos, bakal berbuat curang dalam snap election (pemilu dadakan) yang diadakan pada 1986.

Snap election itu digelar untuk merespons desakan publik yang tak henti melakukan demonstrasi menyusul ketidakpercayaan mereka atas kemenangan Marcos pada pemilu reguler 1984. Waktu itu Namfrel melakukan apa yang dinamakan parallel vote tabulation (penghitungan suara paralel). Namfrel mengerahkan ribuan relawan ke 90.000 TPS yang ada, mereka mencatat hasil perolehan suara dan melaporkannya ke pusat data di Manila. Melalui kegiatan ini Namfrel turut berperan mengungkap kecurangan besar-besaran yang dilakukan pendukung Marcos ketika data resmi yang dilaporkan ke Comittee for Free Elections (CEL/ komite untuk pemilu bebas) atau KPU-nya Filipina ternyata jauh berbeda dengan data Namfrel.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kegiatan penghitungan suara semacam itulah yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan National Democratic Institute (NDI) pada pemilu legislatif dan pemilu presiden putaran pertama lalu. Berbeda dengan pengalaman Filipina, quick count tersebut tidak diadakan dengan mencatat data di seluruh TPS, kedua lembaga itu menggunakan teknik statistical sampling dengan cara memilih secara acak 2.000 TPS yang tersebar di seluruh Indonesia yang dipakai sebagai basis penghitungan cepat. Penggunaan teknik sampling dalam quick count sebenarnya bukan hal baru. Pada Pemilu 1988 di Cile, lembaga CEL melakukan quick count dengan hasil yang akurat meskipun hanya mencatat data di 10% dari jumlah TPS yang ada. CEL menerapkan metode acak ini untuk me-milih TPS-TPS mana yang akan dipantau. Sesudah pengalaman CEL ini teknik sampling mulai digunakan secaraluas dalam quick count di berbagai negara dengan jumlah sampel vang ha-nva mencapai beberapa ribu TPS saja.

Munculnya quick count di pentas pemilu sebenarnya memperkuat kebangkitan iklim demokrasi di Indonesia. Pasalnya, fenomena quick count ini memberikan verifikasi terhadap apa yang disebut oleh Anto-nio Gramsci sebagai alternatif hegemoni dari kelompok masyarakat sipil. Quick count memberikan inf ormasi alternatif kepada publik tentang penghitungan tabulasi suara. Pada titik ini masyarakat menda-pat keuntungan dengan mendapat informasi dari berbagai sumber yang berbeda. Artinya, kalau hasil penghitungan suara dari kedua sumber sama maka tingkat kepercayaanmasyarakat kepada pemerintahan baru pun akan meningkat. Tak kalah penting, adanya informasi altematif inijuga akan mencegah unsur-unsur yang ada dalam negara untuk berbuat semena-mena dengan melakukan kecurangan dalam pemilu.

Bila dicermati, quick countnasional pertama yang dilakukan oleh LP3ES-NDI pada pemilu legislatif lalu ternyata tak jauh beda dengan hasil penghitungan akhir resmi KPU. Meskipun hanya bersandar pada data dari 2.000 TPS, perbandingan hasil quick count dengan hasil KPU hanya berkisar antara 0,01% dan 1,1%. Demikian juga quick count kedua yang dibuat pada pemilu presiden putaran pertama Juli lalu, perbedaan dengan hasil KPU hanya berkisar antara 0,06% dan 1,19%. Dengan hasil yang tak jauh berbeda quick count dapat memperkuat legitimasi KPU bahwa pemilu berjalan relatif baik. Artinya, kalaupun ada beberapa kecurangan di sana sini hal itu tidaklah berpengaruh penambahan atau pengurangan suara secara signifikan.

Namun, tidak sedikit yang menanggapi kesamaan angka yang dihasilkan quick count dan KPU secara berbeda.Beberapa orang melihat adanya kemungkinan lain kongkalikong antara penyelenggara quick count dengan KPU sehingga hasil akhirnya sama. Kecurigaan ini yang mendorong terlontarnya ide teori konspirasi, yaitu adanya konspirasi antara lembaga asing dengan lembaga dalam negeri untuk memenangkan kandidat tertentu di mana quick count masuk dalam skenario itu.

Teori adalah sebuah model yang membutuhkan verifikasi untuk membuktikan kebenarannya. Oleh karena itu, ide tentang teori konspirasi dalam pemilu di Indonesia membutuhkan bukti-bukti ilmiah supaya tidak dianggap asbun (asal bunyi). Apalagi tuduhan konspirasi adalah sesuatu yang serius. Ensyclopedia of Americana mendefinisikan konspirasi sebagai kesepakatan yang dilakukan oleh beberapa orang untuk melakukan tindakan yang melawan hukum. Oleh karena itu, penggagas isu konspirasi dalam pemilu presiden kemarin sebaiknya melandasi tuduhannya dengan bukti-bukti yang jelas, satu hal yang sampai saat ini tak pernah dipaparkan.

Sebaliknya, beberapa fakta justru mementahkan tuduhan adanya konspirasi ini. Pertama, quick count dilakukan dengan metode sampling statistik yang bisa dilakukan oleh siapa pun yang memiliki kualifikasi. Artinya, siapa pun bisa melakukan quick count dengan hasil yang sama apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu metode sampling yang benar dan memiliki kualifikasi untuk secara ketat menerapkan sampling tersebut. Kebetulan pada saat yang sama Forum Rektor juga melakukan quick count di 29 provinsi. Data lembaga ini menunjukkan kecenderungan perolehan suara yang sama meski dengan deviasi yang jauh lebih besar.

Kedua, quick count LP3ES-NDI memiliki catatan tentang perolehan suara di TPS-TPS terpilih. Data ini terbuka untuk umum, siapa pun dapat mengecek secara langsung apakah data yang direkarn dalam komputer sama dengan data di TPS atau tidak. Artinya, kemungkinan kecurangan baik penambahan atau pengurangan suara melalui data quick count dapat dikatakan mustahil.

Ketiga, hasil quick count tersebut sejalan dengan prediksi hasil polling prapemilu yang dilakukan secara nasional oleh beberapa lembaga yang berbeda seperti IFES, LSI, ELDEKA dan LP3ES. Semua lembaga polling secara pasti memprediksikan dua hal: bahwa pasangan SBY-Kalla bakalj auh meninggalkan pesaing-pesaingnya, sementara pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar diprediksikan menempati urutan buntut. Amien Rais waktu itu juga diprediksikan hanya mendapat dukungan dari pemilih perkotaan yang tak cukup membawanya masuk putaran kedua. Hanya IFES yang salah memprediksi Wiranto dalam posisi kedua. Melihat kecenderungan ini tuduhan konspirasi selayaknya justru dituduhkan ketika hasil quick count berbeda jauh dengan prediksi polling pra-pemilu.

Keempat, quick count juga dilengkapi dengan metode pemantauan pemilu. Tanpa pemantauan terhadap kualitas pemilu di TPS terpilih, bisa jadi quick count justru melegitimasi kecurangan sebab bila demikian kegiatan ini melulu hanya melaporkan data tabulasi perolehan suara TPS. Oleh karena itu, sangat penting kegiatan pemantauan untuk mengetahui apakah di TPS terpilih terjadi mobilisasi massa ilegal, intimidasi, sogok, dan segala jenis kecurangan lain. Dengan demikian, hasil quick count tak mungkin me-legitimasi kecurangan yang dilakukan sebelum dan pada saat pencoblosan di TPS, karena quick count baru dipublikasikan setelah yakin bahwa angka kecurangan rendah. LP3ES-NDI misalnya baru mengumumkan prediksi perolehan suara kandidat setelah yakin bahwa data pemantauan menyebutkan bahwa kecurangan hanya terjadi di kurang dari 20 TPS dari seluruh 2.000 TPS yang dipantau (1% sampel saja). Mayoritas masyarakat (lebih dari 80%) yang diwawancarai dalam Survei Preferensi Pemilih LP3ES-NDI pada hari pemungutan suara menyatakan bahwa pemilu berjalan dengan bebas tanpa tekanan.

Keempat alasan itulah yang mem-buat quick count kemarin lebih dipercaya publik.

Tatak Prapti Ujiyati, Peneliti LP3ES

Sumber: Media Indonesia, Jum’at, 17 September 2004

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Berita ini 28 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB