Pergantian musim hujan menuju kemarau ditandai dengan pergolakan atmosfer di wilayah Indonesia. Potensi terjadinya angin kencang dan puting beliung di sejumlah daerah yang mengalami transisi musim meningkat.
Kepala Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Ramlan, di Jakarta, Rabu (25/4/2018) mengatakan, massa udara atau Madden Julian Oscilation (MJO) fase basah yang bergerak di sepanjang garis khatulistiwa mulai meninggalkan wilayah Indonesia, namun pusaran tekanan rendah di Selat Sunda masih bertahan.
Selain itu terjadi anomali suhu permukaan laut lebih tinggi 1 hingga 3 derajat Celcius. Hal ini memicu terjadinya potensi penguapan atau penambahan massa uap air di Laut Andaman, Selat Malaka, Samudera Hindia dari barat Aceh hingga Lampung, serta sejumlah perairan lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dengan kondisi ini, Jawa bagian barat masih berpotensi dilanda hujan hingga dua hari mendatang, namun intensitasnya akan terus menurun,” kata Ramlan.
Dengan kondisi ini, Jawa bagian barat masih berpotensi dilanda hujan hingga dua hari mendatang, namun intensitasnya akan terus menurun.
Pertumbuhan awan hujan juga terjadi di wilayah Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Musim kemarau
Kepala Subbidang Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, sebagian wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau, tapi sebagian lain masih transisi atau pancaroba. Untuk Pulau Jawa, memasuki awal Mei 2018, sebagian besar sudah masuk musim kemarau.
–Pusaran angin terdeteksi muncul di atas wilayah Indonesia, salah satunya di Samudera Hindia dekat Selat Sunda yang menciptakan jalur konvergensi awan awan hujan di atas Jakarta dan Jawa Barat. Pusaran tersebut dapat bertahan 1-2 hari sebelum bergerak menjauhi Indonesia. Jelang akhir pekan hujan dapat berkurang signifikan untuk Jakarta. Sumber: BMKG
Seiring dengan peralihan musim, angin kencang dan puting beliung justru berpeluang mengalam peningkatan sebagaimana yang terjadi di Yogyakarta pada Selasa (24/4/2018). “Daerah yang rentan dilanda angin kencang dan puting beliung terutama yang mengalami pancaroba, di antaranya Jawa bagian barat, Lampung bagian selatan, Sumatera Selatan bagian tenggara, Jambi, dan Pangkal Pinang,” kata Siswanto.
Puting beliung di Yogyakarta tergolong cukup besar diameternya sehingga dampaknya cukup luas. Sejauh ini, lokasi dan kapan terjadi puting beliung belum bisa diprediksi jauh-jauh hari meski awan kumulonimbus terpantau pergerakannya dari citra satelit awan BMKG.
Ramlan mengatakan, puting beliung pada umumnya terjadi sangat singkat dan disebabkan oleh pertumbuhan awan vertikal atau kumulonimbus. Pertumbuhan awan ini bisa dilihat dengan bentuknya menyerupai bunga kol yang secara cepat berubah menjadi gelap, padahal disekitarnya cerah.
Tidak semua awan kumulonimbus memicu puting beliung. Namun jika ada turbulensi yang hebat di dalam awan, dapat dipastikan puting beliung. “Peringatan dini puting beiung baru bisa diberikan sekitar 30 menit sampai 1 jam sebelumnya,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Stasiun Klimatologi Mlati Yogyakarta Agus Sudaryatno membantah berita yang beredar di media daring dan televisi tentang kembali munculnya badai tropis Cempaka yang akan berdampak hujan lebat, angin kencang, gelombang tinggi, serta puting beliung di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam tiga hari ke depan. “Saat ini tidak terpantau adanya badai tropis di Samudera Hindia selatan Yogyakarta dan Jawa Tengah,” kata dia.
Badai tropis dan puting beliung merupakan dua fenomena meteorologi yang berbeda skala maupun mekanisme pembentukannya. Badai tropis radiusnya 150 – 200 kilometer, sedangkan puting beliung memiliki skala lokal dengan radius sekitar 1 km.
“Setelah terjadi puting beliung di Kota Yogyakarta dan Bantul pada hari Selasa lalu, maka potensi untuk terbentuknya kembali sangat kecil. Intensitas penyinaran matahari, suhu permukaan bumi, dan pola angin di lapisan bumi bagian bawah tidak signifikan sehingga tidak mendukung untuk terbentuk puting beliung kembali,” kata dia.–AHMAD ARIF
Sumber: kompas, 26 April 2018