Desakan konversi hutan di Indonesia terus berlanjut, satu dasawarsa terakhir. Penebangan hutan secara masif dilakukan karena dianggap sebagai sumber kayu. Padahal, dengan menjaga kelestariannya, manfaat ekonomi sekaligus ekologi bisa diraih. Itu dibuktikan Konsorsium Riset Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Kalimantan Selatan.
Indonesia dikenal sebagai negeri berhutan tropis terluas dan keragaman hayati terkaya kedua setelah Brasil. Keberadaan hutan begitu penting bagi warga dunia karena berfungsi sebagai paru-paru Bumi, penyerap gas karbon, dan pelepas oksigen ke udara. Hutan berperan memengaruhi cuaca dan iklim serta suplai air bagi lingkungan.
Namun, sumber daya alam berharga itu terus menyusut. Menurut analisis Forest Watch Indonesia, dalam lima tahun terakhir atau sejak 2009, penyusutan areal hutan di Indonesia 4,6 juta hektar atau seluas 7 kali luas Provinsi DKI Jakarta. Kecepatan deforestasi itu tiga kali lapangan bola per menit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hutan yang tersisa diperkirakan 82 juta hektar, dan 26,6 juta hektar di antaranya terhampar di Kalimantan yang termasuk terluas daripada wilayah lain di Indonesia. Namun, tingkat konversi hutan di tanah Borneo itu terbesar setelah Sumatera. Hutan tersebut umumnya terkonversi untuk perkebunan sawit. “Apabila pembukaan hutan terus dibiarkan tanpa menegakkan tata kelola lahan hutan yang baik, 10 tahun mendatang Riau akan hilang diikuti Kalimantan Tengah dan Jambi,” ujar Christian Purba, Direktur FWI.
Pengelolaan berkelanjutan
Pengelolaan hutan secara lestari sulit diterapkan di tengah desakan kepentingan industri perkayuan dan perkebunan kelapa sawit. Meski demikian, upaya rintisan di Kalimantan Selatan dilakukan Konsorsium Riset Pengelolaan Hutan Tropis Berkelanjutan (KRPHTB).
Konsorsium yang dibentuk tahun 2012 itu beranggotakan Pusat Kajian Hutan Tropis Universitas Lambung Mangkurat, Balai Penelitian Kehutanan Banjar Baru, Balai Riset dan Standardisasi Industri Banjar Baru, serta Balitbang Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
KRPHTB merupakan satu dari 27 lembaga litbang/konsorsium riset yang pada 2013 dipilih untuk dibina Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kementerian Ristek dan Dikti). Tujuannya, menjadikan lembaga-lembaga itu sebagai pusat unggulan iptek (PUI) dalam tiga tahun.
Program pengembangan PUI yang dimulai 2011 adalah upaya Kementerian Ristek dan Dikti memperkuat kelembagaan sebagai bagian Sistem Inovasi Nasional. Lembaga itu mencakup perguruan tinggi, lembaga pemerintah di kementerian dan non-kementerian, serta badan usaha.
“Lembaga ini dibina untuk menghasilkan inovasi teknologi sesuai kebutuhan pasar, untuk meningkatkan daya saing pengguna teknologi, yaitu industri kecil dan menengah (IKM) di tiap pusat pertumbuhan ekonomi,” kata Yohan Tiara, Kepala Bidang Program Kompetensi Kelembagaan Kementerian Ristek dan Dikti.
Untuk menaikkan status jadi PUI, lembaga binaan tersebut harus memenuhi beberapa kriteria menyangkut aspek akademis, ekonomis, dan ekologis. Pusat riset itu harus menghasilkan sejumlah jurnal berskala nasional dan internasional. Produknya punya hak kekayaan intelektual dan bernilai tambah bagi industri serta berpotensi ekspor.
Lembaga riset yang ditetapkan sebagai PUI akan mendapat dana insentif dari Kementerian Ristek dan Dikti hingga Rp 1 miliar selama tiga tahun. Bantuan tersebut untuk operasional, pelatihan, serta beasiswa program S-2 dan S-3, fasilitasi jaringan internasional, riset, penerapan hasil riset, dan serta sosialisasi lewat seminar.
Konsorsium itu menerbitkan 20 karya ilmiah di jurnal nasional dan lima di jurnal internasional per tahun. Para peneliti di konsorsium jadi pembicara kunci di konferensi internasional dan berkunjung ke lembaga internasional tiga kali per tahun.
Produk inovasi
Dalam tiga tahun sejak didirikan, KRPHTB menghasilkan produk nonkayu siap dikomersialkan. Produk itu antara lain madu hutan dan herbal berbahan dasar tumbuhan hutan berkhasiat obat. Madu pahit dari hutan berkhasiat anti radang, antioksidan, dan anti diabetes. Madu dihasilkan lebah yang mengonsumsi bunga sungkai (Peronema canescens), kayu asli Kalimantan dengan kandungan alkaloid tinggi.
Selain itu, 8 varian dihasilkan di antaranya kayu manis, pasak bumi, ginseng, dan sarang semut murni. Itu dicampur teh jadi teh kayu manis, teh sarang semut, dan teh pasak bumi.
Teh herbal diuji di laboratorium biokimia Fakultas Kedokteran Unlam. Teh herbal itu berfungsi antioksidan, anti diabetes, dan anti radang. “Teh ini siap dipasarkan 2015,” kata Kepala KRPHTB Yudi Firmanul Arifin. Adapun sirup kayu manis dikomersialkan masyarakat lokal binaan konsorsium.
Produk lain ialah pupuk kompos dari seresah hutan, cuka kayu manis untuk penggumpal getah karet, papan partikel dari limbah kayu akasia, produk olahan rotan, lilin aromatik, dan minyak atsiri dari penyulingan daun gaharu.
Hasil inovasi itu didiseminasikan kepada masyarakat lewat pelatihan bagi IKM. “Dengan pengenalan produk hutan nonkayu, warga di 13 kabupaten di pegunungan Meratus di Kalsel diharapkan tak lagi merusak hutan, bahkan menjaga hutan karena perekonomian tergantung ekosistem hutan,” tutur Yudi.
Sementara balai penelitian kehutanan mengelola empat kawasan hutan dengan tujuan khusus, yakni Riam Kiwa hutan lahan kering di Kabupaten Banjar (1.400 hektar), Rantau di Tapin 180 hektar, Kintap di Tanah Laut 1.000 hektar dan hutan rawa gambut Tumbang Nusa di Pulang Pisau 5.000 hektar.
“Kami menghutankan lagi Riam Kiwa dengan sekitar 100 bibit tanaman pionir jenis lokal, seperti akasia dan eukaliptus. Hutan alam Kalsel yang gundul diharapkan muncul lagi,” ujar Kepala Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Tjuk Sasmito.
Konsorsium dapat jadi acuan pengelolaan hutan tropis dan produk hasil hutan nasional. Itu perlu pengelolaan yang konsisten dan berjangka panjang.–YUNI IKAWATI
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juli 2015, di halaman 14 dengan judul “Berinovasi Lestarikan Hutan”.