Pemanfaatan lahan bekas tambang sebagai areal pertanian dimungkinkan apabila komposisi kimia tanah diperbaiki. LIPI memiliki pupuk organik hayati yang bisa membantu proses itu. Lahan bekas tambang di Bangka sudah membuktikannya.
Uji coba penanaman tanaman pangan pada lahan bekas tambang timah dengan memakai pupuk organik hayati di Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, telah berhasil. Namun, keamanan pangan perlu diuji terkait risiko logam berat dan risiko lain.
Lahan seluas 8 hektar di lahan bekas tambang ilegal timah itu ditanami padi dibantu penggunaan pupuk organik hayati (POH) buatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). POH diberi nama Beyonic StarTmic ini memperbaiki sifat kimia dan biologi tanah dengan 10 mikroorganisme pilihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Pada 8 Mei 2018, kami panen, mendapat 4,8 ton gabah kering panen per hektar dari lahan bekas tambang ilegal yang kami tanami padi,” kata Kemas Asfani Rahman, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bangka, Senin (21/5/2018), di Jakarta.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Peneliti mikrobiologi LIPI Sarjiya Antonius, Senin (21/5/2018) di Jakarta, memperkenalkan pupuk organik hayati LIPI.
Pada 8 Mei 2018, kami panen, mendapat 4,8 ton gabah kering panen per hektar dari lahan bekas tambang ilegal yang kami tanami padi.
Angka itu amat tinggi dibandingkan data Badan Pusat Statistik yang mencatat rata-rata produktivitas padi di Bangka 2,7 ton per hektar. Pada periode pertama penanaman, hasilnya 3,5 ton per ha dan terus meningkat seiring perbaikan mutu tanah.
Menurut Kemas, POH dibuat petani setempat dengan pendampingan LIPI. Pupuk itu jadi media mempercepat penyerapan akar tanaman karena membenahi susunan kimia tanah.
Lahan bekas tambang itu diperkaya pupuk kandang, kapur, sisa tanaman, dan penetral keasaman tanah temuan LIPI. Dampak positif lain, menurut petani setempat, akar tanaman lebih kuat dan tahan pirit (mineral disuflifa besi yang jadi indikator kerusakan tanah terpapar).
Pihaknya mengaplikasikan penanaman ini pada desa-desa setempat. Tiga desa mulai mengoperasikan instalasi pembuatan POH. Menurut Kemas, POH penting untuk meningkatkan mutu lahan di Bangka yang hampir 100 persen lahan kritis. Namun, ketersediaan sumber daya manusia dan daya tarik tambang jadi hambatan. ”Warga tergantung hidupnya pada tambang,” ujarnya.
Sarjiya Antonius, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, menjelaskan, pada lahan bekas tambang timah, keasaman tinggi. Itu membuat unsur fosfat terikat dengan Al dan Fe sehingga tak bisa diserap tanaman. Mikroba dari POH bisa membantu melepas fosfat itu sehingga dapat diserap akar tanaman.
Formula POH yang didapat Anton sejak riset pada 2007 ini mengandung asam organik zat pengatur tumbuh sehingga daya hidup tanaman lebih kuat. Dalam POH ada enzim yang mengefisienkan penyerapan akar.
10 jenis mikroba
Ia mengisolasi 10 isolat mikroorganisme unggul dari keluarga pseudomonas, bacillus, pseudochrobactrum, burkholderia, brevundimonas, microbacterium, ochrobactrum, dan brevibacillus. Bakteri itu bersimbiosis dengan akar tanaman. ”Formulasi POH mengandung kombinasi mikroba penghasil biokatalis. Pelarut fosfor, penambat nitrogen, penghasil IAA, asam organik, dan biopestisida,” kata Anton.
Husni Thamrin, petani Sukabumi, menuturkan, penerapan POH meningkatkan produktivitas bawang merah dari 5-6 ton per hektar jadi 7-15 ton per ha. Sementara produktivitas cabai dari 0,7 kilogram per tanaman menjadi 1,2 kilogram. ”Kurangi produksi pupuk di padi 50 persen dan sayuran 10 persen,” ujarnya.
Dari sisi biaya, ia biasanya membeli pupuk bermerek 100.000 per liter kini 6.000 per liter. Ia membuat POH setelah ikut pelatihan LIPI. Bahannya terdiri dari sumber karbon (gula, molase, tepung jagung, dan tepung tapioka), protein (telur, kaldu daging, tepung ikan, tepung kedelai, kecambah), agar-agar, dan air kelapa.
Bahan-bahan ini dimasak dan dicampur dengan starter mikroorganisme pada tangki yang dilengkapi aerator. Setelah 3-4 pekan dihasilkan fermentasi dan siap digunakan pada tanaman.
Kini POH didaftarkan paten dan dibuka lisensi noneksklusif. Tiga perusahaan memproduksinya, tetapi petani bisa membuatnya tanpa perlu khawatir terkena sanksi hukum.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 22 Mei 2018