Puncak Hujan Meteor Lyrid 21-22 April 2020

- Editor

Sabtu, 18 April 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Hujan meteor Lyrid bakal berlangsung 16-30 April 2020, puncaknya 21-22 April mendatang. Dengan mata telanjang, masyarakat hanya perlu pergi ke luar rumah, pandang langit di arah timur laut, tunggu meteor muncul.

KOMPAS/STELLARIUM–Segitiga imajiner yang dibentuk oleh tiga bintang terang di belahan langit utara, yaitu Vega, Deneb dan Altair. Kemunculan tiga bintang ini menjadi tanda datangnya musim panas di belahan Bumi utara. Di sekitar bintang Vega pula, selama akhir April ini akan menjadi sumber pancaran atau radian hujan meteor Lyrid.

Paruh kedua bulan April telah tiba. Kini, saatnya warga dunia bisa menyaksikan kembali hujan meteor Lyrid. Pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar di berbagai daerah dan negara akibat pandemi Covid-19 dan datangnya fase Bulan mati membuat peluang untuk bisa menyaksikan hujan meteor ini cukup besar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hujan meteor Lyrid berlangsung antara 16-30 April 2020. Namun, “Puncaknya akan berlangsung pada 21-22 April mendatang,” kata ahli meteor Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat NASA Bill Cooke seperti dikutip Space, Rabu (15/4/2020).

Meski demikian, pengamatan bisa dilakukan sejak Minggu (19/4/2020) dinihari hingga Kamis (23/4/2020) dinihari. Pada rentang ini, jumlah meteor yang bisa diamati diyakini paling optimal.

Waktu terbaik untuk mengamati hujan meteor itu adalah selepas tengah malam hingga terbitnya fajar. Saat ini, hujan meteor Lyrid berlangsung bersamaan dengan fase Bulan mati sehingga cahaya Bulan tidak akan menganggu pengamatan meteor.

Disebut hujan meteor Lyrid karena meteor-meteor yang terlihat kali ini seolah-olah muncul dari rasi Lyra, konstelasi bintang berbentuk alat musik Lira. Meski kecil, rasi Lyra mudah diamati karena memiliki satu bintang terang yang mudah diamati, yaitu bintang Vega atau Alfa Lyra.

Bersama bintang Altair (Alfa Aquilae) dan Deneb (Alfa Cygni), Vega membentuk segitiga bintang terang. Kemunculan segitiga bintang terang ini menjadi pertanda datangnya musim panas di belahan Bumi utara.

Dari berbagai lokasi di Indonesia, rasi Lyra bisa disaksikan di arah timur laut. Selama akhir April, rasi ini akan terbit sekitar pukul 23.00 WIB di wilayah Indonesia barat, sedangkan di Indonesia timur dia sudah mulai terlihat pukul 21.00 WIT.

Dari pengalaman tahun sebelumnya, jumlah meteor yang bisa disaksikan selama hujan meteor Lyrid berkisar antara 15-20 meteor per jam. Bahkan pada beberapa tahun sebelumnya, jumlah meteor yang bisa dilihat bisa mencapai 100 meteor per jam saat terjadi lonjakan jumlah meteor atau outburst. Namun lonjakan jumlah meteor itu sulit diprediksi.

Dikutip dari earthsky.org, sejumlah lonjakan jumlah meteor dalam hujan meteor Lyrid pernah disaksikan oleh pengamat Yunani pada 1922, pengamat Jepang pada 1945, dan pengamat Amerika Serikat pada 1982. Pada 2020 ini diprediksi tidak akan terjadi outburst meski kemungkinan untuk terjadinya tetap ada.

Tahun ini, astronom memperkirakan jumlah meteor Lyrid yang terlihat mencapai 10-15 meteor per jam. Jumlah meteor yang bisa dilihat itu bergantung dari lokasi pengamatan, kecerahan langit malam, hingga besarnya polusi cahaya.

“Sejumlah ahli menyebut ada periodisitas 30 tahunan untuk terjadi lonjakan meteor, namun itu hanya rata-rata. Jumlah aktual meteor tiap tahun bervariasi,” tambah Cooke.

KOMPAS/JPL SMALL-BODY DATABASE/EARTHSKY.ORG–Lintasan komte Thatcher (C/1861 G1 pada 1 Januari 1861, tahun terakhir komet mendekati Bumi. Komet ini butuh 415 tahun sekali mengelilingi Matahari, jadi akan kembali mendekati Bumi pada tahun 2276.

Asal usul
Bahan baku meteor dalam hujan meteor Lyrid berasal dari serpihan komet Thatcher atau C/1861 G1. Komet ini mengelilingi Matahari setiap 415 tahun sekali. Terakhir kali komet mendekati Bumi pada tahun 1861, dengan jarak terdekat dengan Bumi dicapai pada 5 Mei 1861 pada jarak 50,1 juta kilometer atau 0,335 unit astronomi (jarak rata-rata Bumi-Matahari).

Komet ini ditemukan oleh AE Thatcher pada 5 April 1861. Komet mencapai perihelion atau titik terdekat ke Matahari terakhir kali pada 3 Juni 1861. Dari perhitungan, komet akan kembali mendekati Matahari dan Bumi pada tahun 2276.

Saat mendekati Matahari itu, komet menguap hingga serpihan dan pecahan materinya tertinggal di sekitar lintasan orbitnya. Setiap akhir April, dalam perjalanan Bumi mengitari Matahari, Bumi akan melewati bekas lintasan komet tersebut.

Selanjutnya, serpihan materi komet itu akan masuk ke atmosfer Bumi hingga menjadi meteor. Saat serpihan komet itu bergesekan dengan atmosfer Bumi akan menimbulkan panas hingga terbakar dan menjadi meteor. Di atmosfer Bumi, meteor itu akan bergerak dengan kecepatan hingga 177.000 kilometer per jam.

Hujan meteor Lyrid termasuk hujan meteor tertua yang dilaporkan manusia. Catatan China kuno menyebut terjadinya hujan meteor pada tahun 687 sebelum masehi (SM). Dalam periodisasi China Kuno, tahun itu termasuk dalam periode musim semi dan gugur atau antara tahun 771 SM hingga 476 SM. Di masa itulah hidup filsuf China Konfusius hingga sebagian orang menduga Konfusius turut menyaksikan hujan meteor itu.

Untuk bisa menyaksikan hujan meteor Lyrid, tidak diperlukan peralatan apapun, cukup gunakan mata telanjang. Masyarakat hanya perlu pergi ke luar rumah, pandang langit di arah timur laut, dan tunggu meteor muncul. Karena harus menunggu di dinihari, gunakan baju hangat, dan jika perlu berbekal makanan dan minuman hangat.

Selama masa pembatasan sosial dan bekerja dari rumah akibat pandemi Covid-19 berlangsung, kesempatan untuk melihat hujan meteor ini menjadi lebih besar karena besok paginya tidak perlu buru-buru berangkat sekolah atau bekerja. Namun karena banyak yang di rumah, polusi cahaya menjadi tidak berkurang meski langit menjadi lebih bersih karena berkurangnya polusi udara dan aktivitas manusia.

Meski demikian, saat ini mendung dan hujan masih berlangsung di sejumlah wilayah, termasuk Jakarta dan sekitarnya. Kondisi cuaca itu bisa menganggu pengamatan. Karena itu, semoga cuaca dinihari hingga akhir April nanti mendukung untuk menyaksikan hujan meteor Lyrid.

KOMPAS/ESA/HUBBLE/NASA/JANAÍNA ÁVILA/BBC–Beberapa bulir debu antariksa yang ada di meteorit Murchison (inset) bisa berasal dari materi bintang yang mati, meledak dan melemparkan materinya ke ruang antarbintang seperti di Nebula Telur.

Oleh M ZAID WAHYUDI

Editor: ILHAM KHOIRI

Sumber: Kompas, 18 April 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB