Wahana Lingkungan Hidup Indonesia merilis sejumlah 542 titik api ditemukan di lokasi konsesi perusahaan kehutanan dan perkebunan pada tahun ini. Sebagian lokasi merupakan area kerja perusahaan yang tahun-tahun lalu mengalami kebakaran di lahan gambut serta mendapatkan perintah dari pemerintah untuk menjalankan restorasi.
ICHWAN SUSANTO–Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Eksekutif Daerah Walhi, Kamis (1/8/2019) di Jakarta, mengadakan konferensi pers menanggapi kebakaran hutan dan lahan yang berpotensi kian membesar.
Temuan ini menunjukkan restorasi berupa pembasahan gambut belum dijalankan dengan baik. Pemerintah diminta membuka data program maupun mekanisme serta lokasi restorasi di area-area perusahaan agar bisa turut diawasi oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini penting karena konsesi gambut merupakan satu kesatuan hidrologis gambut yang saling terhubung. Tanpa keterlibatan masyarakat, konsesi bisa semaunya menjaga tingkat ketinggian muka air tanah. Misalnya, saat musim hujan membuka sekat sehingga membanjiri lahan masyarakat dan sebaliknya di musim kemarau sekat ditutup rapat untuk kebutuhan pengairan konsesi sehingga lahan masyarakat kekeringan.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumatera Selatan Mohammad Hairul Sobri, Kamis (1/8/2019) di Jakarta, menyebutkan sekitar 70 persen dari total lahan gambut di Sumsel seluas 1,5 juta ha dikuasai konsesi. Dari tahun ke tahun, kebakaran hutan dan lahan terjadi di area bergambut tersebut.
ICHWAN SUSANTO–M Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumatera Selatan, difoto pada 1 Agustus 2019 di Jakarta., Kompas/Ichwan Susanto (ich)
“Di sepanjang tahun ini, sebanyak 244 titik api (Januari-Juli 2019) yang 30-40 persennya ada di konsesi perusahaan. Itu menunjukkan kerja-kerja pemulihan gambut tak berjalan,” katanya.
Ia mengatakan, langkah penanganan kebakaran hutan dan lahan berupa pemadaman dan sosialisasi larangan membakar tak akan berarti tanpa menyentuh perbaikan tata kelola perusahaan. Ini memerlukan penghentian izin baru di lahan gambut, peninjauan ulang izin-izin, dan pemulihan gambut.
Meski sudah ada perlindungan hutan primer dan gambut dari izin-izin baru kehutanan – termasuk izin pelepasan – Sobri menunjukkan terdapat izin baru perkebunan seluas 10.000 ha di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Ini pun tak selaras dengan Instruksi Presiden No 8 tahun 2018 yang berisi penundaan izin perkebunan sawit, yang berlangsung setahun terakhir.
“Ini baru informasi temuan dari OKI, belum kabupaten lain,” kata dia.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi Rudiansyah mengatakan, dampak restorasi gambut pada 1,7 juta ha konsesi yang terbakar di tahun 2015 hingga kini belum tampak. Kondisi ini membuat langkah perbaikan dalam penanganan karhutla menjadi tertutup oleh ketidakseriusan restorasi gambut.
Di sisi lain, ia pun mempertanyakan pemerintah yang tak membuka perintah rencana pemulihan gambut di lahan-lahan konsesi kehutanan. “Semangat mengurangi kebakaran hanya ditekan pada masyarakat. Tapi industri ekstraktif dibiarkan dan tidak pernah disampaikan terbuka kepada publik,” kata dia.
Secara terpisah, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Raffles Brotestes Panjaitan mengatakan data luas kebakaran hutan dan lahan yang dimilikinya tahun ini 42.270 ha, dari Januari – Mei 2019 tidak ada yang berada di area perusahaan. Dari jumlah itu seluas 27.538 ha di lahan gambut dan 15.202 di tanah mineral.”Soal kebakaran di area konsesi, saya belum tahu, nanti lihat data baru hasil analisa kami bulan Juni-Juli yang akan dikeluarkan Senin besok,” ujarnya.
Jika terdapat titik api di perusahaan, KLHK bisa memberikan sanksi administratif hingga memproses hukum pidana dan perdata. Ia pun mengingatkan ada tanggung-jawab mutlak perusahaan bila konsesi terbakar.
ICHWAN SUSANTO–Raffles Brotestes Panjaitan, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, difoto pada 1 Agustus 2019
Selain terancam lahannya dikembalikan kepada negara, pemilik konsesi juga bisa dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkannya secara pidana dan perdata. “Kalau begitu kan, bisnis dia jadi terganggu dan rugi sendiri. Jadi mudah-mudahan perusahaan serius melindungi dan mencegah konsesi dari api sebaik-baiknya,” ungkapnya.
Raffles menambahkan, saat ini sekitar 70 persen pemegang izin kehutanan telah memenuhi kewajiban untuk melengkapi infrastruktur, pendanaan, dan sumber daya manusia dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran. Sisanya 30 persen masih belum memenuhi karena konsesi tersebut tidak aktif. “Meski tak aktif, konsesi harus dijaga baik satwa liarnya, kayunya, maupun dari kebakaran,” katanya.
Sementara dari sisi jumlah titik api, berdasarkan pemantauan satelit NOAA, ia mengatakan jumlah hotspot sejak Januari-Juli 2019 tercatat sebanyak 975 titik. Jika dibandingkan dengan pemantauan pada periode yang sama tahun 2018 jumlah hotspot sebanyak 1.077 titik atau terdapat penurunan jumlah titik panas (hotspot) 102 titik.
Adapun berdasarkan pemantauan Satelit Terra/Aqua (NASA) dengan tingkat kepercayaan lebih dari 80 persen, jumlah hotspot sebanyak 2.073 titik, dan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018 jumlah hotspot sebanyak 1.338 titik atau terdapat kenaikan jumlah hospot sebanyak 735 titik.–ICHWAN SUSANTO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 2 Agustus 2019