Model ekonomi dengan konteks sosial budaya menjadi penting. Sistem barter yang bertahan di beberapa wilayah di Nusa Tenggara Timur menjadi salah satu contohnya. Dalam menghadapi alam Nusa Tenggara Timur yang sering tidak ramah dan keras, barter menjadi jaring pengaman sosial yang efektif.
Demikian, antara lain, pokok pikiran disertasi promosi doktor program studi Sosiologi yang disampaikan Jacobus Belida Blikololong, Senin (28/6) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Disertasi bertajuk ”Du-Hope (Barter) di Tengah Penetrasi Ekonomi; Sebuah kajian Sosiologis terhadap Sistem Barter di Lamalera, Nusa Tenggara Timur (NTT)” itu berhasil dipertahankan dalam sidang terbuka senat akademik Universitas Indonesia dengan predikat sangat memuaskan. Selaku promotor, Prof Dr Robert MZ Lawang dalam sambutannya mengatakan, para penguji sepakat, Jacobus sebetulnya berhak atas predikat cum laude, tetapi disertasi itu lambat diselesaikan.
Jacobus mengungkapkan, kesejahteraan sebagai tujuan usaha pembangunan perlu dibangun dalam konteks sosial budaya lokal dan bukan merupakan universalisasi model pembangunan Barat, seperti yang sedang terjadi di pelosok-pelosok Indonesia. Fenomena berdampingannya barter (pra-kapitalisme) dan uang (kapitalisme) di Lamalera di Pulau Lembata menegaskan bahwa sebuah sistem ekonomi akan menjadi andal kalau berbasis budaya lokal (kontekstual).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sejumlah tempat, seperti Adonara, Lembata, Alor, dan Pantar, barter masih bertahan dan terbukti menjadi jaring pengaman sosial yang mampu berdampingan bersama uang. ”Sebagai contoh, orang pegunungan biasa membawa jagung dan menukarkannya dengan ikan atau komoditas lain. Ketika terjadi gagal panen dan uang tidak ada, orang masih bisa barter dengan menggunakan barang yang ada,” ujarnya.
Di Lamalera, du-hope (barter) masih bertahan secara utuh, hanya berubah penampilannya. Daerah Lama Holot tercatat sebagai wilayah barter yang paling bertahan. Di Lamalera barter tetap bertahan nyaris utuh karena faktor tena (teknologi barter), kotekelema (komoditas utama), dan prefo (simpul jaringan barter). Keempat unsur itu dapat disebut sebagai spirit of barter dengan adat sebagai semangat utamanya.
Sebaliknya, universalisasi justru menggerus sistem berkonteks sosial budaya yang ada. Dia mencontohkan, penetrasi ekonomi uang bersamaan dengan gencarnya pembangunan membuat sistem barter di sejumlah tempat di NTT, yang sampai tahun 1970-an sangat diandalkan sebagai bagian dari ekonomi subsistensi, menghilang di sejumlah tempat.
Tidak tanam jagung
Penyeragaman justru berbahaya. Dia mencontohkan, pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin) di masyarakat yang semula bertanam dan memakan produk lain akan bersifat merusak. ”Di daerah yang mengandalkan jagung, misalnya, begitu ada pembagian beras, orang menjadi terbiasa dengan beras dan menyingkirkan jagung. Ketika terjadi krisis, orang tidak mempunyai uang untuk membeli beras, sedangkan jagung tidak ditanam lagi. Kelaparan besar terjadi,” ujarnya.
Program-program pembangunan selama ini merupakan mono cropping, penerapan dari model tunggal yang diterapkan di dunia Barat yang kapitalistik. Model ekonomi liberal yang digerakkan prinsip kapitalisme tidak cocok dengan Indonesia. Kasus resiliensi barter di Lamalera membuktikan kapitalisme dengan model ekonomi liberal hanya cocok di negara industri maju. Dalam sejarahnya, ekonomi kapitalistik sebetulnya bersifat kontekstual lokal masyarakat industri. Ekonomi komunitas yang menekankan pemberdayaan komunitas dan solidaritas kolektif perlu dikembangkan. (INE)
Sumber: Kompas, Selasa, 29 Juni 2010 | 05:12 WIB