Produk organik makin diminati masyarakat. Selain ramah lingkungan dan tak menggunakan bahan kimia dalam proses produksinya, produk organik dinilai bermanfaat bagi kesehatan.
Terkait hal itu, Komunitas Organik Indonesia (KOI) menggelar Organic Green and Healthy Expo 2015 di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (2/10). Pameran itu digelar selama empat hari, yakni pada 1-4 Oktober 2015.
“Kami mau menunjukkan, produk organik dengan kekayaan alam Indonesia baik dipakai dan dikonsumsi masyarakat, serta tak menimbulkan dampak buruk pada lingkungan,” kata Ketua Umum KOI Christopher Emille Jayanata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pameran kelima yang digelar KOI kali ini diikuti 180 usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang memamerkan produk andalan mereka. Para pelaku UMKM yang menjadi peserta pameran itu tak hanya dari Jakarta, tetapi juga sejumlah kelompok dari Bali, Batam, Yogyakarta, Makassar, dan Jawa Tengah.
Pada tahun 2011, KOI menggelar pameran pertama yang diikuti 45 UMKM dengan 1.500 pengunjung. Pameran itu sebagai bentuk respons mereka terhadap target Kementerian Pertanian yang mendorong produk organik pada tahun 2010. Komunitas itu rutin menggelar pameran dengan biaya sendiri. “Dalam pameran kali ini, masyarakat makin antusias. Target kami, ada 12.000 pengunjung,” kata Emille.
Setiap kelompok UMKM diwajibkan selalu mengusung tiga komponen di tiap produk yang dihasilkan, yakni organik, ramah lingkungan, dan menyehatkan atau tak menimbulkan efek buruk pada konsumen.
Khusus bahan makanan, tak menggunakan penyedap rasa, pengawet, pengharum buatan, dan pemanis. Adapun produk nonmakanan tak memakai bahan kimia berbahaya, seperti merkuri pada kosmetik. “Beberapa produk harus diperiksa di laboratorium untuk memastikan klaim pemiliknya. Kami sendiri melihat proses pembuatannya,” ujarnya.
Ramah lingkungan
Edy Suryatmo, peserta pameran dari UMKM Batik Bixa Yogyakarta, memamerkan produk batik yang menggunakan pewarna alami. “Penelitian di Universitas Gadjah Mada menunjukkan beberapa batik yang menggunakan Naptol atau indigisol bisa memicu kanker kulit. Karena itu, kami mencoba memakai bahan alami sebagai pewarna,” ujarnya.
Pewarna yang digunakan diambil dari beberapa bahan, antara lain daun indigovera untuk menciptakan warna biru, kulit buah jelawe untuk warna kuning atau cokelat, kulit batang pohon bakau untuk warna merah bata, dan soga untuk warna coklat. “Pewarna alami itu tak mencemarkan lingkungan. Bahkan, limbah dari pembuatan warna bisa untuk pupuk,” tuturnya.
Marwiyah (46) memproduksi berbagai jenis produk kopi, baik Arabika maupun Robusta. Ia bersama kelompoknya mulai membangun usaha tersebut sejak tahun 2007. “Kami memiliki kelompok perempuan petani kopi. Semua pembuatannya tradisional, memakai priuk tanah dalam proses sangrai, dan tanpa bahan pengawet. (B09)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Oktober 2015, di halaman 13 dengan judul “Produk Organik Kian Diminati”.