Alasan penanaman massal pohon raksasa trembesi atau Albizia saman yang disarankan pemerintah untuk menunjang program penanaman satu miliar pohon pada 2010 masih pro dan kontra. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan trembesi itu masih membutuhkan dukungan riset yang lebih saksama.
”Kebijakan penanaman pohon idealnya memerhatikan penggunaan dan kebutuhan masyarakat di tiap daerah. Trembesi termasuk jenis pohon dengan evaporasi atau penguapan tinggi sehingga berpotensi mengeringkan sumber air,” kata Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Mochammad Na’im, Senin (22/2/2010) di Yogyakarta.
Hal berbeda diungkapkan dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Endes N Dahlan, di Bogor, kemarin. Menurut dia, trembesi pada mulanya diketahui tumbuh di savana Peru, Brasil, dan Meksiko, yang minim air. ”Kemampuan tumbuh di savana menunjukkan, pohon ini tidak memiliki evaporasi tinggi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Endes adalah salah satu akademisi yang diundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan pembekalan penanaman trembesi, 13 Januari 2010 di Istana Negara. Endes meneliti daya serap emisi karbon dioksida atas 43 jenis tanaman pada 2008.
Hasil penelitian pada trembesi dengan diameter tajuk 10-15 meter menunjukkan, trembesi menyerap karbon dioksida 28,5 ton per tahun. Ini angka terbesar di antara 43 jenis tanaman yang diteliti, bahkan ditambah 26 jenis tanaman lain, daya serap karbon dioksida trembesi tetap terbesar. Meskipun demikian, Endes belum bisa menjelaskan 68 jenis pohon lainnya yang diteliti.
Dia mengaku, belum meriset secara rinci kapasitas evaporasi trembesi. Diketahui pula, trembesi memiliki sistem perakaran yang mampu bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium untuk mengikat nitrogen dari udara.
Kandungan 78 persen nitrogen di udara memungkinkan trembesi bisa hidup di lahan-lahan marjinal, juga lahan-lahan kritis, seperti bekas tambang, bahkan mampu bertahan pada keasaman tanah yang tinggi. ”Selain tahan kekeringan, juga tahan genangan,” kata Endes.
Menurut dia, pemerintah akan merealisasikan penanaman trembesi di sepanjang jalan Semarang-Kudus, Jawa Tengah. Sebanyak 2.767 pohon akan ditanam di sana hari Rabu besok.
Menurut Na’im, trembesi memiliki tajuk yang luas, sekaligus tebal. Kondisi ini membuat cahaya matahari sulit menembus. ”Tanaman di bawah naungan tajuknya tidak bisa tercukupi cahaya matahari sehingga tidak bisa tumbuh subur, bahkan mati. Jenis tanaman ini sebaiknya untuk perindang,” ujar Na’im.
Distribusi benih
Saat ini pemerintah telah mendistribusikan benih trembesi. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, Anik Indarwati, mengatakan, pihaknya sudah menerima 40 kg benih trembesi pada awal Februari 2010.
”Trembesi dikenal dengan nama munggur. Tanaman ini tidak diarahkan untuk perkebunan rakyat karena khawatir membunuh tanaman lain,” kata Anik.
Trembesi dikenalkan pemerintah kolonial Belanda. Biasa ditanam sebagai perindang, termasuk perindang pada penampungan kayu kehutanan.
Trembesi cepat tumbuh, dalam lima tahun diameter batang bisa mencapai 25 sentimeter-30 sentimeter. Tetapi, keunggulan yang sama juga dimiliki berbagai pohon spesies asli Indonesia, di antaranya keluarga meranti, jabon, ketapang, atau pulai.
Menurut peneliti senior Biotrop Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Supriyanto, jenis trembesi saat ini juga belum diteliti apakah termasuk jenis yang invasif atau bukan. Jenis invasif itu mampu mendesak atau mematikan jenis tanaman lain di sekitarnya.
Hal ini seperti terjadi pada jenis tanaman akasia yang ditanam di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Tanaman ini mengakibatkan rumput sebagai sumber pakan kerbau liar tidak tumbuh. (IRE/GSA/NAW)
Sumber: Kompas, 23 Februari 2010
—————–
Trembesi Tanaman Asing
Tanaman trembesi atau Samanea saman adalah jenis tanaman asing yang masih memerlukan riset untuk melihat potensi invasifnya. Perlu kehati-hatian saat menanam dalam jumlah banyak karena dapat mendesak tanaman dan merusak ekosistem lokal.
”Trembesi dari Amerika (selatan) tropik memang sudah beratus- ratus tahun ada di Indonesia. Sebagai ahli ekologi tumbuhan, saya tidak menolak program pemerintah, tetapi menyarankan perlu kehati-hatian ketika menanam trembesi dalam jumlah banyak,” kata ahli ekologi tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mustaid Siregar, Senin (15/2) di Bogor, Jawa Barat.
Pertengahan Januari 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan memberikan satu juta bibit trembesi atau ki hujan untuk setiap provinsi dalam acara pembekalan budidaya trembesi di Istana Negara dalam rangka program penanaman satu miliar pohon.
Yudhoyono meminta, bibit trembesi didistribusikan sampai pelosok-pelosok untuk menunjang komitmen pemerintah mereduksi 26 persen emisi karbon.
Mustaid mengingatkan, tanaman asing yang berhasil didomestifikasi di Tanah Air cenderung dominan dan berpotensi invasif, atau mampu mendesak tanaman dan ekosistem lokal. Keberadaannya memunculkan ancaman pada ekosistem bawah tanah pada mikroorganisme tanah, tanaman strata rendah, dan fauna di sekitarnya.
Trembesi dilirik Yudhoyono setelah dikemukakan data bahwa kemampuan penyerapan karbon per pohon trembesi tergolong paling besar, yaitu 28.488 kilogram karbon dioksida per tahun. Pohon trembesi, yang bisa mencapai usia 600 tahun itu, berkanopi luas, bisa mencapai diameter 8 meter dengan ketinggian pohon berkisar 40 meter.
Pohon lokal
Mustaid menuturkan, sebetulnya pohon lokal beringin atau Ficus benyamina patut dilirik untuk menunjang program penanaman satu miliar pohon. Tak ubahnya trembesi, beringin juga tergolong pohon raksasa yang mampu menyerap emisi karbon tinggi. ”Beringin sebagai tanaman lokal ini terdapat di sejumlah daerah di Indonesia, tetapi belum ada riset pengukuran daya serap emisi karbonnya,” kata Mustaid.
Beringin termasuk spesies kunci, yaitu jenis pohon yang menopang kehidupan flora dan fauna lainnya. Sistem perakarannya kuat sehingga memperbanyak cadangan air tanah.
Potensi kelestarian beringin tergolong paling tinggi karena kayunya tidak dapat dimanfaatkan. Pohon ini tersebar di dataran rendah hingga dataran tinggi.
Mustaid mengatakan, pola penanaman pohon disarankan juga tidak serempak sama jenisnya dalam satu kawasan. Keanekaragaman hayati harus dijaga dengan tetap mempertahankan jenis pohon lokal.
Pemilihan jenis tanaman dengan jangkauan tinggi pohon juga harus berjenjang. Dengan tajuk tanaman bertingkat, tujuannya untuk mempertahankan air hujan selama mungkin guna mengurangi laju limpasan air hujan yang bisa mendatangkan banjir.
Periset Pusat Penelitian Biologi LIPI, Hari Wiriadina, mengungkapkan, trembesi sebagai tanaman asing baik digunakan sebagai peneduh di perkotaan. Namun, sistem perakarannya yang kuat serta menyebar agak horizontal harus diantisipasi agar tidak merusak infrastruktur bangunan.
Area teduhan akibat tajuk trembesi juga dikenal kurang baik bagi jenis tanaman lainnya. Ini potensi invasif trembesi yang membutuhkan riset mendalam.
Diketahui, jenis flora dan fauna asing yang invasif atau mematikan jenis tanaman lokal saat ini, antara lain, adalah jenis akasia (Acacia noctiluca) yang ditanam di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Tanaman ini telah meluas dan mengganggu pertumbuhan rumput sebagai makanan utama banteng endemik di sana.
Jenis aster (Eupatorium sordidum) dari Meksiko meluas di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Jenis tanaman ini mendesak lantai hutan tempat tumbuhnya tanaman obat. Juga dikenal tanaman asing invasif lainnya, seperti eceng gondok. (NAW)
Sumber: Kompas, 16 Februari 2010