Presiden Joko Widodo memilih nama Nurtanio untuk pesawat N219 buatan PT Dirgantara Indonesia serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Pembuatan pesawat yang dirancang untuk menjangkau daerah terpencil itu menunjukkan industri kedirgantaraan di Tanah Air kembali menggeliat.
Pemberian nama pesawat N219 dilakukan Presiden Jokowi di Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (10/11). “Dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, saya resmikan pesawat N219 sebagai pesawat Nurtanio,” kata Presiden Jokowi di depan pesawat bermesin ganda buatan anak bangsa itu.
Nama Nurtanio dipilih sebagai penghargaan kepada Laksamana Muda Anumerta Nurtanio Pringgoadisuryo, patriot dan perintis kedirgantaraan Indonesia. Hidupnya didedikasikan bagi dunia kedirgantaraan Indonesia. “Beliau gugur dalam penerbangan uji coba,” ucap Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, nama Nurtanio dipilih sebagai pengingat agar anak bangsa bersedia meneruskan semangat mengembangkan teknologi dan industri penerbangan nasional. “Kalimat Nurtanio yang patut kita hayati adalah, ‘Sudah, kita tak usah ribut-ribut, yang penting kerja’,” kata Presiden.
Tingkatkan konektivitas
Seusai peresmian, Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PT DI) Elfien Guntoro menjelaskan, PT DI dan Lapan membuat dua prototipe pesawat N219. Satu prototipe selesai dibuat dan melakukan delapan kali uji terbang. Satu prototipe lain ditargetkan selesai dibuat awal 2018.
N219 yang kini memiliki nama Nurtanio adalah pesawat bermesin ganda dengan kapasitas penumpang 19 orang. Pesawat tersebut dirancang untuk menjelajahi daerah terpencil dan pegunungan dengan jelajah terbang 2-3 jam. Adanya Nurtanio bisa mendorong konektivitas antardaerah.
“N219 dirancang bisa mendarat di landasan pendek, 400-600 meter,” ujar Elfien. Saat ini, pesawat Nurtanio sudah melalui delapan kali uji terbang. Pe-sawat baru itu harus melalui 350 jam uji terbang untuk menguji keandalan agar aman dipakai masyarakat. Produksi massal akan dilakukan setelah mendapat sertifikat paling lambat 2019.
Ada 80 surat perjanjian dan nota kesepahaman kerja sama pembelian Nurtanio. Permintaan pesawat berasal dari swasta nasional, pemerintah daerah, dan luar negeri. Produk pertama untuk memenuhi permintaan maskapai penerbangan Pelita Air. PT DI mematok harga 6 juta dollar AS untuk satu pesawat.
Harus fokus
Penggunaan nama Nurtanio diapresiasi Kepala Staf TNI AU periode 2002-2005 Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim. Pemakaian nama itu menunjukkan penghargaan atas semangat kepahlawanan Nurtanio dan menguatkan nasionalisme. Bahkan, semestinya nama PT DI dikembalikan ke nama Nurtanio.
Pesawat Nurtanio ini menandakan geliat industri dirgantara. Chappy mengingatkan agar industri pertahanan negara, terutama produksi pesawat terbang, belajar dari pengalaman masa lalu dan pengalaman negara lain.
Komitmen negara mendukung industri strategis ini menentukan karena di masa awal subsidi negara pada pabrik serta riset produk jadi keharusan. Selain itu, pabrik pesawat harus memiliki produk unggulan, seperti Boeing dengan Boeing 737-nya serta Airbus dengan A-380.
Produk unggulan ini menunjukkan produk laku dijual dan teruji di lapangan. Jadi, pesawat N-219 Nurtanio semestinya dipakai penerbangan sipil dan militer Indonesia. Itu menjamin pesawat terus disempurnakan dan ketersediaan suku cadang.
“Dulu ada produk unggulan, CN-235, satu skuadron diberikan kepada TNI AU dan 10-12 pesawat versi sipil ke MRA. Sayangnya, CN-235 baru dipakai, PT DI bikin lagi N-250. Orang jadi bingung, seolah pengembangan tak berlanjut, padahal PT DI itu pabrik kecil,” kata Chappy.
Karena fokus pada produk lain, CN-235 tak dikembangkan. Akibatnya, pengguna CN-235 kesulitan mendapat suku cadang sehingga tak ada yang mau memakai CN-235. Karena itu, fokus pada pengembangan dan penyempurnaan produk unggulan jadi keharusan agar produk kian bermutu dan diminati sehingga perusahaan mandiri. (NTA/INA)
Sumber: Kompas, 11 November 2017