Masyarakat Nusa Tenggara Timur meminta Presiden Joko Widodo mencopot Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy karena pernyataan Muhadjir di salah satu media cetak nasional dinilai merendahkan dan melecehkan masyarakat NTT. Rendahnya kualitas pendidikan di NTT yang disebutkan Muhadjir seharus menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan kembali menuduh masyarakat NTT sebagai penyebab.
Koordinator Perwakilan Forum Mahasiswa Universitas PGRI NTT Johanes Tapela ketika melakukan aksi demonstrasi damai di depan Kantor Gubernur NTT di Kupang, Senin (11/12), mengatakan, pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di salah satu koran nasional pada 4 Desember sangat melukai hati masyarakat NTT. Pernyataan itu seperti ”menepuk air di dulang tepercik muka sendiri”. Itu fakta bahwa menteri gagal mengelola pendidikan di NTT.
”Lihat saja persoalan di Universitas PGRI NTT Kupang yang terkatung-katung sejak 2014 sampai hari ini. Sangat mustahil seorang menteri tidak mampu mengatasi kekisruhan di universitas itu antara Ketua Yayasan dan Rektor. Akibatnya, nasib sekitar 2.000 mahasiswa PGRI sampai hari tidak jelas,” tutur Tapela.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA–Perwakilan Forum Mahasiswa Universitas PGRI NTT melakukan aksi damai di depan Kantor Gubernur NTT menentang pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang meremehkan sumber daya dan kualitas pendidikan di NTT. Mereka meminta Presiden Joko Widodo mencopot Muhadjir Effendy dari jabatan menteri karena gagal mengemban tugas.
Tidak hanya itu, permasalahan pendidikan juga terjadi di sekolah-sekolah dasar di pedesaan di NTT. Siswa tidak memiliki gedung sekolah, sarana dan prasarana belajar tidak layak, seragam dan buku-buku sekolah pun tidak ada. Sebagian sekolah di pedalaman hanya ditangani guru honorer dan lulusan sekolah menengah atas. ”Guru pegawai negeri sipil kebanyakan mengajar di kota atau pusat kabupaten karena tidak mau ditempatkan di desa,” lanjut Tapela.
Guru honorer hanya diupah Rp 100.000 per bulan, itu pun dibayar setelah tiga bulan mengajar. Para guru honorer merupakan lulusan Paket C dari desa itu, dengan kemampuan pengetahuan sangat terbatas, tetapi dipaksakan menjadi guru oleh masyarakat setempat karena tidak ada guru lagi.
”Guru saja lulus dari Paket C, apalagi murid yang diluluskan. Banyak siswa lulus dengan nilai sangat memuaskan, tetapi tidak tahu baca, tulis, dan hitung. Ini merupakan sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah,” tuturnya.
Sampai tahun 1980, sebagian besar sekolah di NTT ditangani swasta, yakni Misi Katolik dan Zending Kristen Protestan, dan menghasilkan lulusan yang sangat berkualitas. Meski jumlah gedung sekolah tidak seperti dibangun pemerintah belakangan ini, mutu lulusannya patut diperhitungkan di tingkat nasional dan internasional.
Sejumla nama besar lulusan sekolah swasta asal NTT yang berkiprah di tingkat nasional antara lain Frans Seda, Prof WZ Yohannes, dan Adrianus Mooy.
Sementara keluarga besar forum putra-putri NTT Provinsi Banten dalam siaran pers mereka yang ditandatangani pimpinan forum, Logo Timor, mengatakan, pernyataan Muhadjir Effendy yang terkait dengan hasil survei Program for International Students Assessment (PISA) tidak perlu keluar dari mulut seorang pejabat setingkat menteri. Hasil survei PISA menempatkan Indonesia di urutan paling bawah dari Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Terkait dengan hasil survei itu, Muhadjir mengatakan, ”Saya khawatir, yang dijadikan sampel dari PISA itu dari NTT semuanya.” Kalimat ini menanggapi pertanyaan wartawan salah satu media cetak nasional yang diterbitkan pada 4 Desember.
Logo Timor mengatakan, Muhadjir seakan-akan menuduh NTT sebagai penyebab nilai survei pendidikan di Indonesia rendah. Hasil survei PISA juga memperlihatkan kinerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam menangani pendidikan di NTT.
”Menteri jangan hanya mengambinghitamkan, kemudian berpangku tangan dan berdiam diri. Jika mutu pendidikan di NTT rendah, apa yang harus dibuat Muhadjir bagi NTT. Selama menjadi menteri, apa menteri itu pernah ke NTT, tidak,” lanjutnya.
Ia pun meminta Presiden mengevaluasi kinerja Muhadjir, bahkan jika perlu mencopotnya. Sejumlah pernyataan dan kebijakannya membingungkan masyarakat dan dunia pendidikan, termasuk sekolah lima hari yang kemudian dibatalkan Presiden.
Selain itu, beberapa surat terbuka yang dikirim melalui media daring pun mengkritik pernyataan Muhadjir. Surat terbuka itu, misalnya, dikirim Firstly Ersza Maharany Sula, putri Rote Ndao, NTT, yang sedang mengikuti pertukaran pelajar di Amerika Serikat. Ia sangat terkejut atas ucapan Muhadjir. Mengapa menteri bisa mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan masyarakat NTT.
Peter A Rohi juga menulis surat terbuka kepada Muhadjir. Ia menyebutkan sejumlah tokoh dari NTT yang turut memberi andil dalam perjuangan kemerdekaan RI dan pembangunan Indonesia. Meski dinilai bodoh oleh seorang menteri, NTT turut berperan membangun bangsa ini dalam berbagai bidang.
Sementara Prof Vincent Gazpers menulis di akun Facebook, belajar di NTT jauh lebih sulit dibandingkan belajar di ITB atau UI atau UGM. Fasilitas belajar terbatas, juga di NTT tidak banyak ahli yang membuat hal-hal sulit menjadi mudah.
”Jangan karena frustrasi karena mengelola pendidikan yang begitu kompleks dan rumit, kemudian NTT dijadikan kambing hitam. Jika menteri itu seorang profesional, ia tentu menangani pendidikan dengan mudah dan tidak menyalahkan orang lain,” sebut Gazpers.
Menteri sebagai pejabat negara jangan membawa sifat-sifat primordial dalam melayani dan membimbing seluruh masyarakat Indonesia. Menteri harus melindungi dan memayongi semua kelompok, golongan, dan suku bangsa.–KORNELIS KEWA AMA
Sumber: Kompas, 11 Desember 2017