Kajian terbaru menunjukkan potensi tsunami di selatan Jawa mencapai ketinggian 20 meter. Ini agar diwaspadai dengan penguatan mitigasi di wilayah itu melalui tata ruang dan sistem peringatan dini tsunami (InaTEWS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO—Penumpang melintas di gedung terminal Bandara Internasional Yogyakarta, Kulon Progo, DI Yogyakarta, Senin (30/3/2020). Bandara ini dibangun di zona rawan gempa bumi dan tsunami raksasa.
Zona subduksi di selatan Pulau Jawa diketahui menyimpan potensi gempa besar. Kajian terbaru menunjukkan, ketinggian tsunami yang diakibatkan gempa bumi di zona ini dapat mencapai 20 meter dan rata-rata 4,5 meter di sepanjang pantai selatan Jawa. Temuan ini perlu menjadi perhatian mengingat pesatnya pembangunan di pesisir selatan Jawa.
Kajian ini dipublikasikan di jurnal internasional Nature pada Kamis (17/9) oleh tim peneliti dengan penulis pertama S Widiantoro dari Global Geophysics Research Group, Institut Teknologi Bandung (ITB). Tim peneliti lain terdiri dari E Gunawan, A Muhari, N Rawlinson, J Mori, NR Hanifa, S Susilo, P Supendi, H A Shiddiqi, AD Nugraha, dan HE Putra.
Dalam studi ini, peneliti menggunakan data relokasi gempa bumi yang dicatat oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan inversi data sistem penentuan posisi global (GPS) untuk menyelidiki celah seismik di selatan Pulau Jawa. Hasil relokasi gempa itu menunjukkan adanya zona memanjang di antara pantai selatan Jawa dan palung Jawa, yang tidak memiliki kegempaan. Zona diidentifikasi sebagai celah seismik, yaitu zona kegempaan aktif yang tengah menyimpan tenaga dan berpotensi terjadi gempa besar di masa depan.
Celah seismik yang memanjang ini disebut bisa pecah secara terpisah atau bersamaan saat terjadi gempa. Jika segmen di selatan Jawa Barat saja yang lepas, maka gempa bumi yang dihasilkan bisa berkekuatan M 8,9 dengan periode ulang 400 tahun. Untuk periode ulang yang sama, segmen di Jawa Tengah dan Jawa Timur bisa memicu gempa M 8,8. Sementara jika kedua segmen pecah dalam satu gempa, maka akan berkekuatan M 9,1 atau setara gempa Aceh pada 2004.
—-Gambar (a) Peta wilayah studi. Gerakan lempeng berasal dari Altamimi dkk. Data batimetri diambil dari ETOPO16. Inset menunjukkan lokasi area studi (kotak merah) sehubungan dengan Asia Tenggara. (b) Sebaran episentrum gempa yang direlokasi dengan magnitudo ? 4,0. Data gempa (2009-2018) diambil dari BMKG, dkk. Sumber: Jurnal Nature (2020).
Peneliti Pusat Studi Gempa Nasional, Rahma Hanifa, yang turut dalam kajian ini, diwawancara pada Jumat (18/9), mengatakan, periode ulang 400 tahun ini berdasarkan perhitungan Emile A. Okal di Geophysical Journal International (2012) dan kajian Ron Harris di Society of Exploration Geophysicist (2019).
Berikutnya, peneliti mengukur potensi ketinggian tsunami di sepanjang pantai selatan Jawa jika gempa itu terjadi dengan tiga skenario, yaitu hanya segmen Jawa Barat yang lepas (M 8,9), segmen Jawa Tengah dan Jawa Timur saja yang lepas, dan segmen Jawa bagian barat dan timur lepas bersamaan.
Skenario terburuk, yaitu jika segmen Jawa Barat hingga Jawa Timur runtuh bersaman, dengan asumsi periode ulang 400 tahun, dapat menghasilkan tsunami yang sangat besar dengan ketinggian maksimum 20,2 meter di dekat pulau-pulau kecil di sebelah selatan Banten. Sementara tinggi tsunami rata-rata di sepanjang pantai selatan Jawa mencapai 4,5 meter. Ketinggian tsunami bahkan bisa lebih besar lagi jika gempa memicu longsor bawah laut, seperti yang terjadi dalam gempa gempa bumi M 7,5 di Palu pada 2018.
Rahma mengatakan, kajian ini ingin memberikan pesan pentingnya penguatan mitigasi bencana di selatan Jawa, meliputi penguatan di semua lini, termasuk sistem peringatan dini tsunami (InaTEWS), tata ruang, hingga komunitas. Mitigasi menjadi sangat penting karena di selatan Jawa telah tumbuh banyak bangkitan ekonomi baru, di antaranya Bandara Internasional Yogyakarta.
Perulangan tsunami
Peneliti paleotsunami Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Purna S Putra, yang tidak terlibat dalam publikasi ini mengatakan, berdasarkan jejak deposit tsunami tua yang ditemukan timnya, tsunami besar yang dipicu gempa di atas M 9 sudah berulang kali terjadi di selatan Jawa. ”Jejak yang kami temukan tsunami itu terjadi 400-500 tahun lalu, 1.000 tahun lalu, 1.800 tahun lalu, dan 3.000 tahun lalu,” ujarnya.
Data perulangan tsunami di Selatan Jawa ini kemungkinan lebih banyak lagi karena keterbatasan penelitian. ”Di pesisir Sukabumi, kami juga menemukan sembilan lapisan deposit tsunami di kedalaman 14 meter, tetapi ini belum diperiksa penanggalannya kapan terjadi,” ujarnya.
Selain tsunami besar tersebut, menurut Purna, timnya juga menemukan tsunami relatif lebih kecil, seperti terjadi di Pangandaran pada tahun 2006 lalu. ”Ini, misalnya, kami temukan jejak tsunami 1921,” katanya.
Purna meyakini, jika lebih banyak dilakukan kajian paleotsunami, akan ditemukan lebih banyak data tentang keberulangan tsunami di selatan Jawa. ”Namun, itu tidak murah biayanya. Apalagi, untuk tahun ini tidak bisa ke lapangan sama sekali. Jadi, sekarang kami fokus untuk menulis dan memasukkan paper dari kajian-kajian lapangan yang sudah kami lakukan sebelumnya,” katanya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 19 September 2020