Kekuatan Gempa di Sesar Lembang Bisa M 7
Kajian terbaru mengonfirmasi aktifnya patahan Lembang, Jawa Barat, dengan kekuatan gempa maksimum berkisar M 6,5-M 7. Jika terjadi gempa di sesar ini dengan kekuatan M 6,6, potensi kerugian ekonomi dari kerusakan bangunan bisa mencapai Rp 51 triliun.
“Potensi kerugian ekonomi hingga Rp 51 triliun ini hanya dari nilai kerusakan bangunan permukiman,” kata Rahma Hanifa, anggota tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Kamis (15/6). Peneliti lainnya dari ITB adalah Ayu Retnowati, Irwan Meilano, dan Akhmad Riqqi.
Menurut perhitungan tim ini, ada sekitar 2,5 juta rumah warga yang berpotensi terdampak gempa dari patahan yang memanjang 29 kilometer arah timur-barat di utara Bandung tersebut. Rumah yang berpotensi rusak ringan 1 juta unit, rusak total 500.000 rumah, dan selebihnya atau 1 juta rumah rusak sedang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jumlah rumah yang rusak ini dihitung berdasarkan tingkat kurva kerentanan bangunan dengan melihat dua tipe bangunan yang ada, yaitu bangunan yang sudah menggunakan struktur rangka berdinding pengisi (infilled frame) yang cenderung tahan gempa dan tipe bangunan berdinding bata (confined masonry) yang lebih rentan.
“Untuk perbandingan, jumlah bangunan infilled frame dan confined masonry dipakai dari model yang dibuat Prof Iswandi (ahli teknik sipil ITB) dari surveinya di Jakarta,” kata Rahma.
Dari perhitungan yang dilakukan, kerugian bangunan tipe infilled frame mencapai Rp 2,4 triliun, sedangkan kerugian bangunan tipe confined masonry mencapai Rp 48,6 triliun. Sebagai perbandingan, kerugian akibat gempa dan tsunami Aceh pada 2004 mencapai Rp 42,7 triliun.
Kepadatan penduduk dan sumber gempa di dekat perkotaan menjadi salah satu faktor tingginya kerusakan jika terjadi gempa besar di patahan Lembang. Angka kerugian Rp 51 triliun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan APBD Kota Bandung tahun 2017 yang hanya Rp 6,5 triliun.
Tanah endapan
Selain faktor bangunan, tingkat keparahan akibat gempa di Bandung juga dipicu kondisi tanah berupa endapan yang cenderung mengamplifikasi dampak gempa. Jumlah kerusakan bangunan, menurut Rahma, juga bisa berubah tergantung dari skala gempa yang terjadi. Dalam perhitungan kali ini, kekuatan gempa yang dipakai adalah M 6,6 dari potensi maksimum hingga M 7.
Rahma mengatakan, kekurangan penelitian ini adalah jumlah rumah yang berpotensi terdampak masih didasarkan pada pemodelan karena data eksisting belum didapatkan. “Kerugian kemungkinan bisa jauh lebih besar jika kerusakan bangunan publik dan terhentinya aktivitas ekonomi karena bencana ikut dihitung,” katanya.
Studi terpisah yang dilakukan Mudrik R Daryono dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia untuk disertasinya tahun 2016 menyebutkan, sesar Lembang tergolong aktif dengan mempunyai gerakan geser sinistral (mengiri). Dengan menghitung laju pergeseran sungai dan penampangnya, Mudrik menghitung kecepatan gerak geser sesar ini sekitar 3-5,5 milimeter per tahun.
“Dengan panjang sesar mencapai 29 kilometer, potensi gempa yang dihasilkannya bisa M 6,5-M 7,” katanya. Hasil uji paritan (paleoseismic), kata Mudrik, ditemukan bukti ada kejadian gempa bumi besar di zona ini pada abad ke-15 atau berkisar tahun 1450-1460.
Menurut Mudrik, dengan bukti-bukti yang ditemukannya, sesar Lembang dipastikan cukup aktif. Tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi gempa. “Namun, sebagai mitigasi sangat penting untuk memberi penyadaran kepada masyarakat tentang potensi gempa ini dan mengantisipasinya dengan bangunan tahan gempa. Selain itu, yang tak kalah penting adalah menggeser bangunan-bangunan yang dilalui jalur patahan ini,” katanya.
Mudrik menambahkan, studinya telah menemukan dengan cukup presisi jalur sesar ini. “Banyak bangunan publik persis di atas sesar ini sehingga sangat rentan terdampak,” katanya.
Menurut Mudrik, beberapa bangunan yang dilalui sesar Lembang antara lain Sekolah Komando Angkatan Udara, Pusat Pendidikan Korps Wanita Angkatan Darat, dan sejumlah sekolah hingga perhotelan. “Minimal, bangunan yang dilalui jalur sesar ini digeser 15 meter,” katanya. (AIK)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Juni 2017, di halaman 13 dengan judul “Potensi Kerugian Rp 51 Triliun”.