Setahun terakhir, populasi banteng jawa di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur, bertambah setelah dibiakkan dengan cara semi-alami. Populasi yang tahun 2012 diperkirakan tersisa 26 ekor, kini jadi 28 ekor.
”Anak banteng pertama lahir, Desember tahun lalu. Kedua lahir pada Juli tahun ini. Keduanya hasil dari pengembangbiakan semi-alami yang sudah dimulai akhir tahun 2012,” Kata Kepala Balai Taman Nasional Baluran Emy Endah Suwarni, di Situbondo, Sabtu (6/9).
Menurut Emy, jumlah dua ekor dalam setahun tergolong baik. Sebab, selama ini populasi banteng jawa (Bos javanicus) merosot tajam. Berdasarkan survei lapangan, tahun 2012 tercatat hanya ada 26 banteng jawa yang terlihat, jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan tahun 1992 yang mencapai 338 ekor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurunnya populasi banteng jawa itu di antaranya karena perburuan liar, predasi (dimangsa organisme/binatang predator), dan menurunnya kualitas serta kuantitas habitat banteng.
Beberapa tahun terakhir, ketersediaan rumput pakan banteng berkurang. Tanaman akasia berduri (Acacia nilotica) yang dikenalkan sebagai sekat bakar alami justru tak terkendali dan mematikan sebaran rumput pakan. Akasia termasuk salah satu jenis flora spesies asing invasif di Indonesia.
”Smelter” nikel
Di tengah kabar baik pertambahan populasi banteng jawa itu, habitat banteng dan satwa langka di Baluran rentan terganggu. Di batas patok Taman Nasional Baluran mulai dibangun jalan akses masuk untuk pendirian pemurnian mineral (smelter) nikel.
Menurut Emy, pembukaan jalan itu sudah dilakukan awal tahun lalu. ”Kami tidak bisa melarang adanya pembangunan smelter nikel karena kawasan itu berada di luar Taman Nasional Baluran. Namun, saya minta syarat agar tidak ada polusi jenis apa pun yang bisa mengganggu habitat satwa di taman nasional,” katanya.
Pembangunan smelter nikel persis di perbatasan TN Baluran itu menuai protes organisasi Protection of Forest & Fauna (Profauna). Smelter nikel tersebut dikhawatirkan merusak lingkungan di sekitarnya, termasuk kawasan Baluran.
Juru kampanye Profauna, Swasti Prawidya Mukti, mengatakan, pembukaan lahan yang berada persis di perbatasan taman nasional bisa mengancam keselamatan satwa liar karena satwa bisa saja berpindah tempat dan melintasi jalan yang dibuat oleh perusahaan.
Selain banteng jawa, TN Baluran yang mempunyai total luas 25.000 hektar itu juga menjadi tempat hidup 155 jenis burung dan 25 jenis mamalia lain, di antaranya kerbau liar (Bubalus bubalis), anjing hutan/ajag (Cuon alpinus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera pardus melas), kancil (Tragulus javanicus pelandoc), dan kucing bakau (Prionailurus viverrinus).
Selain itu, tambah Swasti, limbah dari smelter berpotensi mencemari permukiman warga. Proses pemurnian juga berpotensi menurunkan hujan asam yang apabila turun ke tanah meningkatkan derajat keasamannya yang terkait dengan keberadaan vegetasi dan perlindungan warga serta satwa. (NIT)
Sumber: Kompas, 8 September 2014