Sejumlah 800 individu spesies baru orangutan yang dinamai Pongo tapanuliensis atau orangutan tapanuli terancam punah. Habitat dengan populasi terpadat orangutan tersebut di kawasan ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara, menjadi lokasi pembangunan bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air. Spesies tersebut kini sedang didaftarkan masuk dalam Red List Endangered Species, spesies terancam punah, ke Badan Internasional Konservasi Alam.
Penjelasan itu disampaikan peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Puji Rianti, salah satu peneliti dari tim yang beranggota sekitar 60 ilmuwan, dan Direktur Konservasi Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) Ian Singleton, Jumat (3/11), di Jakarta. Penelitian ini dilakukan secara kolaborasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), IPB, Universitas Nasional (Unas), Forum Orangutan Indonesia (Forina), serta Yayasan Ekosistem Lestari-Program Konservasi Orangutan Sumatera Utara (YEL-SOCP).
“Bagaimana pembangunan co-exist, makanya posisi habitat orangutan menjadi bagian dari pengambilan keputusan dan mitigasi meminimalkan dampak dari pembangunan. Di situ ada geotermal, ada populasi (orangutan tapanuli) sedikit di situ. Untuk memastikan tidak ada perburuan, kami membentuk community patrol. Kalau sudah hutan lindung akan ada arboreal (hewan-hewan yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di atas pepohonan atau belukar) di atas,” ujar Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekitar 85 persen dari kawasan ekosistem Batang Toru berstatus hutan lindung atau cagar alam. Namun sayang, hutan areal terpenting dengan populasi orangutan tapanuli tertinggi hanya berstatus areal penggunaan lain (APL) sehingga tidak mendapat perlindungan pemerintah. Menurut Wiratno, harus ada pengalihan fungsi dari APL ke hutan lindung atau menjadi margasatwa.
Habitat Pongo tapanuliensis terdiri dari hutan lindung seluas 150.000 sudah ada Kesatuan pengelolaan Hutan (KPH), APL seluas 10.000-15.000 dengan kondisi ada orangutan hutan masih bagus, lalu ada hutan produksi di sekitar itu yang tidak ada hak pengelolaan hutannya. Komunitas mendapatkan hak kelola di hutan produksi. Menurut Wiratno, perlu percepatan untuk mengubah rencana tata ruang wilayah (RTRW) kawasan itu, tetapi terlebih dahulu harus memperhitungkan dampaknya.
Terfragmentasi
Melihat kondisi habitatnya, menurut Wiratno, berpotensi terfragmentasi. “Memastikan habitatnya tidak terfragmentasi dengan memastikan tidak ada big scale investment development yang membuka lahan besar-besaran di habitat itu. Itu mau kita plot posisi hidropower di mana, geotermal di mana, masyarakat bertani di mana, dan kebun masyarakat di mana. Akan dibuat dengan sangat detail,” ujarnya.
Di Medan, Koordinator Program Pan Eco, SOCP Yayasan Ekosistem Lestari, Gabriella Fredriksson mengatakan, kawasan ekosistem Batang Toru memang masih terlindungi, Namun, di lapangan terjadi fragmentasi kawasan dalam tiga blok, yakni barat 600 ekor, blok timur 150 ekor, serta di Cagar Alam Sibual-buali dan sekitarnya sekitar 50 ekor.
“Yang terpenting adalah menyambung kembali kawasan yang terpisah untuk menghindari kawin silang,” kata Gabriella. Dalam jangka panjang perlu dibangun koridor untuk perlindungan satwa. Selain itu perlu dipikirkan status kawasan dalam Ekosistem Batang Toru yang saat ini sekitar 15 persen sudah berubah menjadi areal penggunaan lain.
Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi mengatakan, Pemerintah Provinsi Sumut bertekad melestarikan ekosistem Batang Toru seluas 133.841 hektar di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan yang saat ini sebagian besar masih berstatus hutan lindung.
Saat ini di dalam kawasan ekosistem itu mulai dikembangkan pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi serta tambang. Pihaknya meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara selektif memberikan izin pada pengusahaan kawasan dengan kajian lingkungan yang memadai. (isw/wsi)
Sumber: kompas, 4 November 2017