Penelitian baru yang diterbitkan dalam ”Journal of Clinical Investigation” menunjukkan, polusi udara dapat berperan dalam perkembangan penyakit kardiometabolik.
Polusi udara adalah faktor risiko lingkungan utama dunia dan menyebabkan lebih dari 9 juta kematian per tahun. Penelitian baru yang diterbitkan dalam Journal of Clinical Investigation menunjukkan, polusi udara dapat berperan dalam perkembangan penyakit kardiometabolik, seperti diabetes. Yang penting, efeknya dapat dibalik dengan penghentian eksposur.
Para peneliti menemukan bahwa polusi udara adalah ”faktor risiko untuk faktor risiko” yang berkontribusi pada kesamaan masalah fatal lainnya, seperti serangan jantung dan stroke. Mirip dengan bagaimana pola makan yang tidak sehat dan kurang olahraga dapat menyebabkan penyakit, paparan polusi udara juga dapat ditambahkan ke daftar faktor risiko ini.
”Dalam studi ini, kami menciptakan lingkungan yang meniru hari yang tercemar di New Delhi atau Beijing,” kata Sanjay Rajagopalan MD, penulis utama studi tersebut, Kepala Kedokteran Kardiovaskular di Universitas Rumah Sakit Institut Jantung dan Vaskular Harrington, dan Direktur Institut Penelitian Kardiovaskular Universitas Case Western Reserve, dalam Science Daily, 20 Agustus 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Kami memusatkan partikel halus polusi udara, yang disebut PM2.5 (materi partikulat sangat halus berukuran kurang dari 2,5 mikron). Partikel terkonsentrasi seperti ini berkembang dari dampak manusia terhadap lingkungan, seperti knalpot mobil, pembangkit listrik, dan bahan bakar fosil lainnya,” katanya.
Partikel-partikel sangat halus ini sangat terkait dengan faktor risiko penyakit. Misalnya, efek kardiovaskular dari polusi udara dapat menyebabkan serangan jantung dan stroke. Tim peneliti telah menunjukkan paparan polusi udara dapat meningkatkan kemungkinan faktor risiko yang sama yang menyebabkan penyakit jantung, seperti resistensi insulin dan diabetes tipe 2.
Dalam studi dengan menggunakan tikus percobaan, peneliti membagi obyek penelitian dalam tiga kelompok pengamatan. Kelompok pertama, yaitu tikus yang menerima udara bersih yang disaring; kelompok kedua, diberi udara yang tercemar selama 24 minggu; dan kelompok terakhir, diberi makanan tinggi lemak.
Menariknya, para peneliti menemukan bahwa terpapar polusi udara sebanding dengan makan makanan tinggi lemak. Polusi udara dan kelompok diet tinggi lemak menunjukkan resistensi insulin dan metabolisme abnormal, seperti yang terlihat pada keadaan pradiabetes.
Perubahan ini dikaitkan dengan perubahan pada epigenom, lapisan kontrol yang dapat menghidupkan dan mematikan ribuan gen, mewakili buffer (batas/penyangga) kritis dalam menanggapi faktor lingkungan. Studi ini adalah yang pertama dari jenisnya yang membandingkan perubahan epigenetik seluruh genom sebagai respons terhadap polusi udara, membandingkan dan membedakan perubahan ini dengan pola makan yang tidak sehat, serta memeriksa dampak penghentian polusi udara pada perubahan ini.
Efek bisa dibalik
”Kabar baiknya adalah bahwa efek ini dapat dibalik, setidaknya dalam percobaan kami,” ujar Dr Rajagopalan. Begitu polusi udara dihilangkan dari lingkungan, tikus tampak lebih sehat dan keadaan pradiabetes tampaknya berbalik.
Rajagopalan menjelaskan bahwa jika kita tinggal di lingkungan yang sangat tercemar, mengambil tindakan seperti memakai masker N95, menggunakan pembersih udara dalam ruangan portabel, menggunakan AC, menutup jendela mobil saat bepergian, dan mengganti penyaring udara mobil sesering mungkin dapat membantu tetap sehat dan membatasi paparan polusi udara.
Langkah selanjutnya dalam penelitian ini melibatkan pertemuan dengan panel ahli serta National Institutes of Health untuk membahas pelaksanaan uji klinis yang membandingkan kesehatan jantung dan tingkat polusi udara di lingkungan. Misalnya, jika seseorang mengalami serangan jantung, apakah tetap diharuskan mengenakan masker N95 atau menggunakan filter udara portabel di rumah selama pemulihan.
Rajagopalan dan tim percaya bahwa penting untuk mengatasi lingkungan sebagai faktor risiko kesehatan populasi dan terus meneliti masalah ini dengan rajin. Para penulis juga mencatat bahwa temuan ini harus mendorong pembuat kebijakan memberlakukan langkah-langkah yang bertujuan untuk mengurangi polusi udara.
Dalam diskusi daring, pakar kesehatan lingkungan dari Universitas Indonesia, Budi Haryanto, menyebutkan, PM 2,5, yakni partikel di udara yang berukuran kurang dari 2,5 mikron (mikrometer), tak bisa ditahan oleh rambut-rambut halus dan selaput lendir dari saluran pernapasan atas. Partikel tersebut bisa masuk ke saluran pernapasan lebih dalam, yakni bronkioli dan alveoli pada paru. Yang termasuk PM 2,5, misalnya hasil pembakaran mesin kendaraan berupa SOx dan NOx serta debu halus yang menempel di baju dan percikan cairan tubuh yang keluar lewat bersin dan batuk.
Ia pun menyatakan, jika seseorang menghirup udara kotor, fungsi paru akan rusak. Kerusakan organ vital ini tidak bisa diperbaiki sehingga seumur hidup menderita gangguan fungsi paru. Ini bisa menjadi komorbid atau penyakit penyerta yang akan memperburuk kondisi ketika terpapar virus Covid-19.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: kompas, 21 Agustus 2020