Lahirnya polling (atau penelitian opini publik) di AS dapat ditelusuri kembali hingga tahun 1824, ketika sejumlah surat kabar mencoba menjaring suara masyarakat yang akan memilih presidennya. Pada tahun 1824, polling pertama di AS diselenggarakan oleh surat kabar lokal, Harrisburg Pensylvanian, yang menanyai para calon pemilih di Wilmington, Delaware tentang siapa yang akan terpilih menjadi presiden.
Sejak saat itu hingga sekitar tahun 1900, bukanlah hal yang aneh bila ada surat kabar lokal yang mencoba menanyai sejumlah pembacanya tentang suara yang akan diberikannya dalam pemilihan presiden. Kepopuleran polling oleh surat kabar lokal tersebut kemudian lebih dipopulerkan lagi ketika pada tahun 1912 sebuah majalah berskala nasional, Farm Journal, ikut serta melaksanan polling seperti itu.
Tetapi media massa nasional yang kerap disebut perintis polling di AS adalah majalah Literary Digest, yang antara tahun 1916 sampai 1936 menjadi sangat populer dengan polling dalam pra-pemilihan presiden. Namun nasib malang dialami Literary Digest pada tahun 1936.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pemilihan presiden 1936 kandidatnya adalah Presiden Franklin D. Roosevelt dari Partai Demokrat dan Alfred M. Landon dari Partai Republik. Hasil polling Literary Digest menunjukkan bahwa Alfred M. Landon –saat itu adalah Gubernur Kansas– akan memenangkan pemilihan dengan 57 persen suara. Kenyataannya, pemenangnya adalah Roosevelt.
Perintis ”polling”
Pionir pengembangan polling yang sistematis untungnya masih cukup banyak di tahun 1936. Kebanyakan perintis polling pada masa itu masih tetap dikenal hingga sekarang. Misalnya saja Elmo Roper dan Paul Cherington yang melakukan polling pra-pemilu untuk Fortune Survey. Archibald M Crossley dari Crossley Poll yang menjadi pelaksana polling untuk group Hearst yang memiliki beberapa media massa. Atau George H Gallup yang mendirikan American Institute of Public Opinion dan menjual hasil-hasil polling-nya kepada berbagai media massa.
Mereka itu di tahun 1936 berhasil menyusun prediksi bahwa Roosevelt akan memenangkan pemilihan presiden. Dan George Gallup menambahkan satu langkah penting dalam pelaksanaan polling: menyebarkan bias polling (built-in bias) yang menjadi kesalahan Literary Digest dan memprediksi terlebih dulu angka error.
” Sebenarnya, seperti juga majalah Literary Digest di tahun-tahun awal, para pollingwan pionir tersebut juga didukung oleh sejumlah faktor keberuntungan. Pemilu di AS pada prinsipnya sudah stabil, sehingga polling dengan menggunakan metode paling kasar sekalipun akan dirasakan sudah mencukupi.
Majalah Literary Digest terjun dalam kegiatan pendugaan pemilihan presiden sejak tahun 1916, dengan cara menanyakan penduduk setempat kans menang kedua kandidat presiden, Woordrow Wilson dan Charles Evans Hughes. Namun dalam dua puluh tahun atau enam kali pemilihan presiden, prediksi polling Literary Digest hanya pernah akurat satu kali: yakni ketika memprediksi kemenangan Franklin D Roosevelt dalam pemilihan presiden tahun 1932. Sedangkan dalam lima pemilihan lainnya, polling Literary Digest memiliki tingkat kesalahan (error) sebesar 16 persen.
Terantuk batu
Sejarah prediksi dengan keberuntungan yang terjadi pada pemilihan presiden 1932, menyebabkan masyarakat banyak semakinmemperhatikan polling Literary Digest pada pemilihan presiden 1936, dan di sini Literary Digest terantuk batu. Kebetulan tahun 1936 adalah saat di mana kedua partai Republik maupun Demokrat melaksanakan penataan ulang anggota partainya, terutama dalam penentuan kelas sosialnya.
Polling informal Literary Digest pada 1916 menggunakan cara pengeposan surat suara dengan sampling seadanya: pemilihan responden dilakukan berdasarkan daftar alamat relasi para redakturnya. Sedangkan dalam polling 1936, Literary Digest memilih responden berdasarkan daftar registrasi kendaraan bermotor (seperti daftar pemilik STNK) dan buku petunjuk telepon. Tentu saja kedua sumber ini mengandung bias yang sangat fatal, sebab hanya kaum berduit saja yang mampu memiliki mobil dan telepon. Padahal masyarakat pada kelas itu dikenal luas sebagai massa pendukung Partai Republik.
Akibatnya jelas, polling tidak bisa memjangkau pendapat semua lapisan masyarakat. Hasilnya Literary Digest memprediksi kemenangan Alfred M Landon (kandidat Partai Republik) dengan 57 persen suara. Dalam kenyataannya, Alfred M Landon hanya unggul di dua negara bagian dan Presiden Franklin D Rooseveit (kandidat Partai Demokrat) terpilih kembali untuk yang kedua kalinya menjadi presiden, dengan kemenangan yang sangat besar.
Terobosan metodologi
Gallup, Roper, dan Crossley melakukan polling-nya dengan pemilihan sampel secara luas dan mendalam. Tapi tentu saja mereka ini juga belum melakukan probability sampling (sampling yang menggunakan teori peluang). Yang mereka lakukan lebih mirip dengan quota sampling: menentukan responden pada beberapa daerah yang dipilih per kuota berdasarkan jenis kelamin, tingkat ekonomi, dan cirri-ciri lainnya. Sebenarnya cara mereka itu pun belum dapat dikatakan ilmiah. Tapi paling tidak mampu menjamin adanya sampel yang representatif.
Pada awal tahun 1948, Gallup mempelajari hasil-hasil polling pra-pemilihan presiden selama 12 tahun yang dilakukan oleh sejumlah lembaga peneliti polling, dan melaporkan bahwa lebih dari 300 prediksi memiliki rata-rata error sebesar 4 persen.
Gallup sendiri juga pernah mengalami ketidak-tepatan prediksi, yaitu pada pemilihan tahun 1948 dengan kemenangan untuk Gubernur Thomas E Dewey, dimana polling Gallup mengalami 5,3 persen error. Tapi hal yang sama juga dialami pelaksana polling lainnya. Polling oleh Crossley dan Roper, mengalami 4,7 persen dan 8,4 persen error.
Selanjutnya sebuah komite dari Social Science Research Council menerbitkan laporan tentang penyebab terjadinya kekeliruan prediksi itu. Komite tersebut memutuskan, ada dua sumber utamaa terjadinya error dalam suatu polling: (1) error yang terjadi dalam tahap pengumpulan data, yaitu error dalam sampling dan wawancara; serta error yang terjadi pada tahap pengolahan data, yaitu error dalam peramalan termasuk kekeliruan menafsirkan perilaku memilih dari para pernilih yang belum punya pilihan dan kekeliruan dalam mendeteksi perubah an pilihan pada saat-saat akhir masa kampanye. ***
Sumber: Kompas, 20 JANUARI 1997