BULAN Ramadan adalah waktu yang amat tepat untuk merenung, berfikir dan berzikir tentang berbagai hal. Tidak hanya yang bersifat surgawi, tetapi juga yang duniawi.
Nah, saya ingin mengangkat masalah penataan pemukiman, khususnya di perkotaan, yang cenderung menjiplak pola-pola Barat. Padahal pola-pola dari negara maju yang bernuansa individualistik dan kapitalistik itu sering tidak sesuai dengan budaya dan karakter bangsa kita yang sarat dengan paguyuban dan kegotong-royongan. Penataan pemukiman kita tak sekadar menggunakan rasio atau nalar, melainkan juga rasa dan nurani.
Contoh yang menarik untuk diungkap adalah penataan pemukiman Kampung Kauman, yang berlandaskan kaidah Islami. Islam mengajarkan bahwa sebagian harta orang kaya adaah milik orang miskin. Kampung Kauman yang sangat strategis lokasinya di tengah kota, tidak hanya berisi orang kaya dengan rumah besarnya, melainkan juga orang kelas menengah dengan rumah tipe sedangnya. Bahkan juga ada orang kurang mampu dengan rumah tipe kecilnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jadi yang baru-baru ini dikumandangkan lagi tentang mixed housing atau perumahan berimbang dengan pola 1 rumah mewah: 2 rumah sedang: 3 rumah tipe kecil, sudah sejak dulu diterapkan di Kauman.
Begitu pula tentang konsep walkability (mengutamakan kenyamanan pejalan kaki) dan compact city yang digaungkan oleh Kelompok New Urbanism beberapa tahun terakhir sudah sekitar seabad yang silam dilaksanakan di Kauman. Dari rumah ke sekolah, ke masjid, ke warung, ke tempat kerja, semua dengan berjalan kaki, penataannya sangat kompak.
Berarti gerakan New Urbanism dari negerinya Obama itu boleh dikatakan sudah ketinggalan 100 tahun yang lalu dibanding dengan Kauman.
Ajaran Islam agar kita bekerja keras seolah akan hidup panjang dan bertakwalah seolah akan dipanggil Tuhan besok pagi, juga telah diejawantahkan di Kauman. Rumah pun bisa berfungsi ganda sebagai warung atau toko, guna menambah kesejahteraan. Dan di Kauman terdapat banyak sekali musala, madrasah, masjid, yang mewadahi aktivitas kaum beriman. Setiap hari kita dengar anak-anak mengaji, siang, sore, malam, tanpa henti.
Ada hasil penelitian yang amat menarik dari disertasi Dr Titien Woro Murtini yang mengungkap aspek gender dalam permukiman Kauman. Ternyata beda dengan anggapan sementara orang khususnya ilmuwan Barat, wanita-wanita di Kauman tidak puas sekadar sebagai konco wingking tetapi aktif berkiprah dalam kegiatan ekonomi atau perdagangan. Bahkan ada yang betul-betul berfungsi sebagai penyangga keuangan keluarga. Padahal di negara semaju Amerika Serikat pun, masih ada yang menganggap wife sebagai akroninm dari washing (mencuci), ironing (menyetrika), fun (bersenang-senang), dan entertaining (menghibur).
Temuan hasil penelitian yang lain dari Dr Atiek Suprapti adalah yang berkaitan dengan konservasi berswadaya. Penduduk Kauman yang homogen itu berhasil mempertahankan kohesi sosial di lingkungannya, melestarikan kampungnya, tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah. Terkisah, bila ada orang yang akan menjual rumahnya, langsung orang kaya di Kampung Kauman membelinya terlebih dulu. Yang paling terkenal adalah H Hasan Toha Putra, yang punya banyak rumah, kemudian rumah-rumah itu digunakan untuk berbagai kegiatan Islami yang dibutuhkan oleh masyarakat kampung.
Suasana kekerabatan yang Islami, sesuai betul dengan prinsip Islam bahwa sesama muslim adalah bersaudara. Ibarat tubuh, bila dicubit maka mulut akan berteriak dan mata berkunang-kunang. Kalau toh Kauman sebagaimana halnya kampung, terasa padat, kurang teratur, tidak terlalu indah, perlu diingatkan petuah tentang ’’Indahnya ketidakteraturan’’. Secara fisik boleh-boleh saja dinilai tidak indah, tetapi secara sosial-budaya sungguh teramat indah.
Lantas kenapa dalam penataan permukiman di tanah air kita mesti berkiblat ke Barat? Kenapa aljabar mesti berubah jadi matematika? Kenapa ilmu hayat disulap jadi biologi? Kenapa ilmu bumi dilupakan dan diganti geografi? Yang sudah terlanjur, kita hanya bisa bilang apa boleh buat. Tetapi selanjutnya jangan lagi kita silau melihat apa yang datang dari negara maju. Nama ’’Pondok Indah’’ kan tak kalah bermartabat ketimbang ’’The Beverly Hills Residence’’, kuburan bernama ’’Astana Giri Bangun’’ pun tak kalah hebat dibanding dengan ’’San Diego Hills’’. Marilah kita bertekad untuk menata lingkungan permukiman kita dengan konsep-konsep dan kearifan lokal, termasuk yang bernuansa islami, sesuai dengan kekhasan warganya.
Eko Budihardjo, adalah mantan Rektor Undip, Ketua DP2K Kota Semarang
Sumber: Suara Merdeka, 13 Agustus 2012