Kurang dari empat bulan sejak diterbitkan, peraturan presiden yang mendorong percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah akan didaftarkan untuk uji materi di Mahkamah Agung. Koalisi sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang pengelolaan sampah dan lingkungan menilai regulasi tersebut mengabaikan prinsip kehati-hatian serta kesehatan warga dan lingkungan.
“Kami sedang memfinalkan draf pengajuan uji materi. Minggu keempat Juni ini akan kami daftarkan di Mahkamah Agung,” kata Margaretha Quina, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Senin (6/6), di Jakarta.
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 13 Februari 2016. Isinya mempercepat pembangunan listrik berbasis sampah (PLTSa) di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Permohonan uji materi akan diajukan ke Mahkamah Agung oleh ICEL, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), BaliFokus, Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Greenpeace Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), dan Gita Pertiwi.
Dalih pengajuan uji materi itu di antaranya, kata Quina, karena pelepasan pencemar berbahaya dan beracun dari PLTSa yang bersifat persisten serta sulit dipulihkan kembali bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Ratifikasi Konvensi Stockholm.
Alasan lain, perpres yang mengizinkan konstruksi dimulai sebelum pengembang mendapatkan izin lingkungan dan izin mendirikan bangunan itu bertentangan dengan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Itu akan menempatkan izin lingkungan sebagai syarat formalitas atau mengabaikan prinsip kehati-hatian.
Penasihat Senior BaliFokus, Yuyun Ismawati, mengatakan, sampah Indonesia pada umumnya basah. Hal itu membuat pembakaran sulit dilakukan tanpa penambahan bahan bakar fosil serta proses pengeringan yang memakan biaya tinggi dan boros energi.
Sementara, kata Yuyun, konstitusi jelas-jelas melindungi kesehatan lingkungan setiap warga negara. “Namun, pemerintah justru mempromosikan teknologi yang akan mengeluarkan pencemar persisten, logam berat, dan abu sisa bakaran yang bersifat bahan beracun dan berbahaya,” katanya. (ICH)
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Uji Materi Disiapkan Koalisi LSM”.