Plastik “ramah lingkungan” diklaim mudah terurai hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, tetapi itu tak berlaku jika terbawa ke laut. Plastik mudah terurai yang dipakai peritel sebagai kantong plastik demi memanjakan konsumen itu jadi masalah di laut.
Sampah plastik, styrofoam, dan ranting pohon memenuhi Kanal Banjir Barat di Jembatan Besi, Jakarta Barat, Senin (7/12). Memasuki musim hujan, tidak hanya volume air yang melimpah, tetapi volume sampah yang hanyut juga turut bertambah di Kanal Banjir Barat.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI-Sampah plastik, styrofoam, dan ranting pohon memenuhi Kanal Banjir Barat di Jembatan Besi, Jakarta Barat, Senin (7/12). Memasuki musim hujan, tidak hanya volume air yang melimpah, tetapi volume sampah yang hanyut juga turut bertambah di Kanal Banjir Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ternyata plastik mudah terurai ini butuh syarat tertentu agar bisa terurai di lingkungan. Suhu tinggi atau lebih dari 50 derajat celsius, radiasi ultraviolet sinar matahari, hingga paparan udara jadi syarat agar plastik itu bisa terurai seperti yang diklaim produsennya.
Kondisi itu tak dipenuhi di bawah laut yang gelap, dingin, dan minim oksigen. Laporan terbaru Program Lingkungan PBB (UNEP) itu menggugah kita agar tak menganggap sepele sampah plastik meski itu sampah plastik “ramah lingkungan”.
Di sisi lain, klaim plastik mudah terdegradasi cenderung membuat masyarakat merasa soal sampah plastik terselesaikan. Bahkan, UNEP menyebut produk berlabel biodegradable seakan mendorong penghilangan tanggung jawab individu sehingga menimbulkan keengganan mengurangi sampah plastik.
Tanpa perubahan perilaku, kolam laut jadi keranjang sampah raksasa yang membahayakan lingkungan dan kehidupan biota di dalamnya, serta manusia yang menggantungkan hidup dari hasil laut. Sekali terendap di laut, plastik itu butuh waktu amat lama untuk terurai dan masih ada masalah karena kandungan bijih plastik tak terurai.
“Kondisi laut dingin dan kurang oksigen. Jadi sekali terbuang di laut, plastik itu akan tinggal di sana untuk periode amat lama,” kata Peter Kershaw, penulis studi UNEP berjudul “Biodegradable Plastics and Marine Litter: Misconception, Concerns, and Impacts on Marine Environments” itu seperti dikutip www.cbc.ca, 19 November 2015.
Di dalam laut, sinar matahari amat minim, bahkan nol, saat plastik terendap di kedalaman ratusan meter. Kondisi laut pun amat dingin sehingga tak memenuhi syarat lingkungan bagi plastik untuk terdegradasi.
Tak heran, sampah plastik jadi soal serius di berbagai kolam laut di dunia, termasuk di kutub Arktik. Di kutub utara ini, es memerangkap plastik sehingga sulit terurai. Itu membuat kelimpahan mikroplastik tiga kali lebih banyak daripada di daerah lain di laut, termasuk Great Pacific Garbage Patch, pusat konsentrasi plastik di laut.
“Laut jadi keranjang sampah dan keranjang sampah kian lengkap sehingga dampak sampah plastik naik,” ucapnya. Laporan terbaru UNEP mencatat, 20 juta ton plastik berakhir di laut tiap tahun.
Riset Jenna R Jambeck dan kawan-kawan (12 Februari 2015 di www.sciencemag.org) menyebut, Indonesia ada di posisi kedua “pembuang” sampah plastik ke laut setelah Tiongkok, disusul Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka.
Pada 2014, studi yang dilakukan UNEP dan para mitra memperkirakan, 280 juta ton plastik diproduksi secara global tiap tahun. Hanya sebagian kecil didaur ulang. Ironisnya, sebagian lagi berakhir di lautan, memicu kerusakan lingkungan ekosistem laut senilai miliaran dollar AS per tahun.
Kershaw mengakui, beberapa jenis plastik biodegradable bisa hancur jadi bagian kecil (mikroplastik) dalam 2-3 tahun. Itu jadi soal saat mikroplastik seukuran plankton tertelan biota laut dan masuk rantai makanan.
Beberapa tahun terakhir, kekhawatiran pada mikroplastik, partikel berdiameter hingga 5 milimeter, meningkat. Penguraian terjadi pada organisme laut, termasuk burung laut, ikan, kerang, cacing, dan zooplankton.
Laporan UNEP menemukan, plastik paling umum dipakai untuk aplikasi umum, seperti polietilena (PE), polypropylene (PP) dan polyvinyl chloride (PVC), tak bisa terurai di lingkungan laut. Polimer, yang bisa terurai pada kondisi tertentu di darat, tak berlaku di laut. Penyebaran plastik secara luas berkontribusi pada sampah laut dan kerusakan ekosistem laut.
Studi itu juga menganalisis dampak lingkungan dari teknologi plastik ramah lingkungan oxo-degradable. Seperti plastik ramah lingkungan lain, di darat plastik itu bisa terurai dalam 2 tahun, di laut fragmentasi butuh waktu hingga 5 tahun.
Hingga kini, teknologi belum bisa menjawab dampak sampah di laut. Tanpa perubahan perilaku manusia untuk mengurangi konsumsi plastik, laut terdalam menjadi timbunan kematian bagi alam.– ICHWAN SUSANTO
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul “Laut Jadi Kolam Raksasa Sampah”.