Ceres adalah planet katai paling dekat Bumi. Dia terletak di wilayah Sabuk Asteroid, daerah yang berisi banyak asteroid yang terletak antara planet Mars dan Jupiter. Meski dia termasuk planet katai, namun perilakunya mirip dengan planet batuan atau planet terestrial.
NASA/JPL-CALTECH/UCLA/MPS/DLR/IDA–Ceres, planet katai yang terletak di Sabuk Asteroid, daerah yang kaya akan asteroid serta terletak di antara planet Mars dan Jupiter.
Planet katai dengan lebar 940 kilometer itu tidak hanya tersusun atas materi batuan, tapi campuran antara batuan dan es. Perilaku planet katai itu mirip dengan perilaku Merkurius atau Mars. Karena itu, saat Ceres menyusut, maka permukaan planet katai itu akan jadi keriput atau memiliki banyak fitur geologi seperti planet batuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Citra Ceres yang memiliki fitur geologi atau kerutan seperti planet batuan itu diperoleh dari citra yang diambil wahana antariksa Dawn, milik Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat NASA. Citra diambil saat Dawn mengorbit Ceres pada jarak 385 kilometer dari Ceres pada 2015 dan 2016.
“Hal yang paling mengejutkan adalah ditemukannya fitur tekntonik yang merupakan ciri planet terestrial, padahal planet katai bukan termasuk planet terestrial,” kata pimpinan studi Javier Ruiz dari Departemen Geodinamika, Stratigrafi dan Paleontologi, Fakultas Ilmu Geologi, Universitas Complutense Madrid, Madrid, Spanyol kepada space.com, Senin (1/7/2019).
Dalam citra Dawn itu juga terlihat adanya punggungan yang mirip deretan perbukitan, patahan dan lereng yang berkaitan dengan 15 kemungkinan sesar naik yang ada pada Ceres. Fitur-fitur itu menyerupai penyusutan yang terjadi pada Merkurius dan Mars.
Fitur-fitur geologi yang ada pada Ceres itu menunjukkan bahwa Ceres juga menyusut seiring waktu, mirip anggota Tata Surya yang berupa planet batuan. Fitur geologi itu juga lebih banyak ditemukan pada bagian kutub Ceres. Namun, para peneliti mengingatkan bahwa fitur itu bisa jadi hanya efek cahaya ketika citra itu diambil.
Menurut para peneliti, Ceres kemungkinan menyusut saat bagian dalam dari planet katai itu terpisah menjadi beberapa lapisan akibat proses pendinginan. Proses itu mirip dengan proses pembentukan bagian dalam Bumi dari waktu ke waktu yang terbagi antara inti, mantel, dan lapisan kerak.
Saat Ceres terbentuk, meteri penyusunnya kemungkinan berupa campuran antara batuan dan es yang berpori. Saat tubuh planet katai yang keropos itu terbagi menjadi beberapa lapisan, maka bagian yang berpori harus diisi hingga memicu kontraksi pada Ceres hingga membentuk fitur-fitur geologi tersebut.
NASA/JPL-CALTECH–Konsep artis yang menggambarkan saat wahana antariksa Dawn mendekati planet katai Ceres.
Perbandingan
Meski sama-sama memiliki es dan ukurannya tidak jauh berbeda, perilaku Ceres berbeda dengan sejumlah bulan-bulan milik Jupiter yang juga berlapis es, seperti Europa dan Ganymede. Bulan Jupiter yang berlapis es itu umumnya memiliki celah dan aneka fitur lain yang terbentuk dari proses pendinginan di bulan itu.
Saat Europa dan Ganymede mendingin dari waktu ke waktu, maka lapisan es itu akan makin membesar dan menekan permukaannya. Tekanan itulah yang memicu terbentuknya celah dan sejumlah fitur di permukaan bulan es itu.
Sebaliknya, jika dibandingkan dengan pada planet batuan, seperti Merkurius dan Mars, maka Ceres juga sama-sama memiliki kerutan pada permukaannya. Kerutan itu diduga hasil dari proses penyusutan kedua planet tersebut.
Akibatnya, saat Merkurius dan Mars mendingin dan batuannya memadat, planet tersebut akan berkontraksi hingga menghasilkan fitur-fitur seperti sesak naik hingga rekahan pada permukaannya. Pada saat kontraksi itu, batuan yang lebih tua akan terdorong ke atas oleh batuan yang lebih muda.
Studi itu dipublikasikan di jurnal Nature Astronomy, Senin (1/7/2019). Studi lebih lanjut tentang sesar naik di Ceres diperlukan hingga akan diperoleh informasi lebih tentang bagaimana kondisi alamiah patahan tersebut, porsi batuan dan es penyusun planet katai, hingga proses evolusi Ceres.–M ZAID WAHYUDI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 3 Juli 2019