Plagiat atau plagiarisme adalah penculikan. Plagiator atau plagiaris menculik karya budaya dan seni orang lain, terutama yang berwujud tulisan. Jadi, memplagiat bukan sekadar meniru-ulang. Tidak persis sama dengan menjiplak. Penjiplak bisa berarti plagiator, tapi anak yang sedang belajar menulis melalui proses penjiplakan adalah penjiplak saja, bukan plagiator. Penyontek adalah plagiator, tapi dalam pemakaian sehari-hari biasanya terbatas pada pelaku murid atau mahasiswa; sementara plagiator mencakup segala macam orang. Plagiator, setelah menjiplak atau menyontek karya orang lain tanpa menyebutkan sumber, meng-aku-inya, yakni, meyakinkan orang lain—secara tidak jujur atau menyesatkan—agar memberikan dia nilai ujian yang baik, atau supaya tenar dan terpuji, atau demi imbalan uang atau jasa.
Plagiat mencakup pengakuan bohong atau penyesatan terhadap orang lain, motivasi keuntungan diri, dan penyembunyian orisinalitas, selain pencurian, peniruan, penjiplakan, atau penyontekan karya tanpa izin.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, plagiat adalah jiplakan, sedangkan plagiarisme adalah penjiplakan yang melanggar hak cipta. Tampaknya plagiat istilah umum, sedangkan plagiarisme istilah hukum. Plagiarisme dari Inggris. Plagiat dari Belanda. Mengapa di Indonesia harus beda makna? Tak tahulah. Selain itu, ada sedikit orang memakai plagiasi. Tanyalah pada angin sepoi-sepoi yang sedang berlalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Plagion (Yunani) atau plagium (Latin) berarti penculikan; plagiare menculik. Plagiarius di dunia Romawi adalah penculik anak atau budak, yang kemudian dijual di pasar. Karena di dunia modern penculikan sudah sangat berkurang dibandingkan dengan dulu, istilah ini berhasil diculik tuntas oleh kalangan literasi sehingga timbullah makna (hampir) eksklusif: penculikan karya seni/budaya—tekstual, visual, musikal, material, mekanikal, segala apa hal. Di Indonesia menyempit: karya tulis saja.
Makna penculikan terasa lebih kuat daripada penjiplakan karena ada unsur kesengajaan dan penguntungan niretis atau ilegal. Pada umumnya dunia literasi cukup toleratif terhadap plagiat tak sengaja. Misalnya, ditemukan hanya satu paragraf plagiat dari 100 karya Sam yang terbukti orisinal. Sam cukup minta maaf dan menjelaskan kejadian sehingga orang tahu bagaimana proses kekhilafan itu terjadi. Tapi, kalau 29 dari 30 buku karangan Udin berisi masing-masing plagiat 50 persen, terhinalah Udin untuk selamanya, biarpun dia sujud minta ampun selama 30 hari 29 malam di status FB-nya.
Plagiat jadi urusan besar setelah perkembangan eksponensial sains dan dominasi pemuliaan terhadap originalitas karya pada zaman Renaissance (Kelahiran Kembali) dan apalagi kemudian Aufklärung (Pencerahan Akal Budi) di Eropa. Penempatan kutipan di antara dua tanda kutip—wujud pengakuan terhadap otoritas orang lain—baru dilakukan sejak abad ke-15, dominan sejak abad ke-17. Konsep pengarang (author) sebagai pemegang atau pemilik otoritas (authority) lahir di dunia modern; walaupun kata itu sendiri diambil dari bahasa kuno Latin auctor: orang yang augere, ‘memulai’, ‘menumbuhkan’. Memang pengarang serupa aktor, pelaku, pencipta. Plagiator adalah antitesisnya.
Untuk mendorong saintis menerbitkan karya berisi gagasan baru tanpa was-was, lembaga-lembaga sains yang ketika itu baru lahir seperti The Royal Society di Inggris menjunjung kepengarangan (authorship) saintifik dengan mengabadikan, yakni mencatat dan mengumumkan, nama pengarang sebagai penemu pertama, pemilik otoritas—dengan kata lain, pengakuan terhadap hak cipta—dan dengan membayar imbalan berupa uang dan jabatan, serta, tentu saja, dengan menghinakan, memusuhi, dan mempermalukan semua dan setiap plagiator. Nama, harta, dan kantor besar untuk pengarang; noda, nista, dan kamar kecil untuk plagiator.
Apa situasinya sebelum Akal Budi lahir kembali dan bersinar terang di Eropa? Banyak karangan beredar tanpa pengarang. Tidak ada penghargaan khusus kepada kepengarangan seorang pengarang, apalagi yang sudah mati. Penulis bisa menulis apa saja tanpa perlu mengakui sumbernya. Di dunia seperti itu, plagiator, penyontek, dan penjiplak lumrah dan normal, bahkan turut berjasa “mencerdaskan bangsa”. Di beberapa negeri situasinya masih begitu.
Samsudin Berlian, Penggumul Makna Kata
Sumber: Kompas, 5 Mei 2018