Orang tua dan orang muda punya peluang yang sama menjadi menteri. Mereka sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan dari proses berpikirnya, sesuai perkembangan umur dan pengalamannya.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla berfoto bersama para menteri dalam acara silahturahmi Kabinet Kerja di Istana Merdeka Jakarta, Jum’at (18/10/2019). Kegiatan tersebut menjadi ajang perpisahan antara Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla serta bertepatan dengan hari terakhir masa tugas Kabinet Kerja. Dalam setiap kabinet baru, selalu ada desakan untuk memilih menteri dari kalangan anak muda. Kompas/Wawan H Prabowo
Menteri adalah pekerjaan yang spesifik, menggabungkan antara jabatan politik, kepemimpinan yang sebenarnya dengan segala fungsinya, hingga pekerjaan manajerial. Karena itu, seorang menteri dituntut memiliki kemampuan kepemimpinan yang lebih dari biasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setiap jelang pengumuman pembentukan kabinet baru, desakan untuk memperbanyak menteri dari kalangan anak muda selalu muncul. Pengutamaan pengalaman atau pengetahuan calon menteri juga diperdebatkan. Demikian pula persoalan latar belakang mereka, apakah dari profesional atau partai politik.
Hal yang pasti, seorang menteri dituntut membuat keputusan yang menguntungkan pemerintah. “Menteri tidak boleh membuat putusan yang melemahkan pemerintah,” kata Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, Taufiq Pasiak, Kamis (17/10/2019).
Persoalan orang muda dan orang tua yang akan dipilih sangat bergantung pada karakter kementerian yang dipimpin. Orang muda atau tua memiliki kelebihan dan kekurangan dalam cara pikir yang akan berdampak pada pola kepemimpinan, pengambilan keputusan, pengendalian diri, hingga kemampuan berinovasi.
Cara pikir itu akan sangat ditentukan oleh umur dan pengalaman hidupnya, baik pengalaman yang berkaitan dengan bidang tertentu yang ditekuni, kemampuan intelektualnya, hingga keluasan pergaulan yang dijalani.
Untuk jabatan menteri, lanjut Taufiq, pengalaman sangat penting, bukan sekedar pengetahuan. Namun pengalaman itu harus dimaknai dalam konteks umur dan pengalaman hidup. “Anak muda bisa saja lebih cerdas, namun pengalaman hidup mereka lebih pendek,” katanya.
Selain pengalaman, menteri dituntut punya manajemen diri yang baik. Kemampuan ini berguna dalam mengambil keputusan yang tidak semata membutuhkan nalar, tapi juga emosi. Rasionalitas saja tak cukup karena membuat putusan juga butuh rasa guna menentukan benar-salah, bukan untung-rugi bagi negara semata.
“Tapi, kapan nalar atau emosi itu harus dipakai, sangat bergantung pada pengalaman hidup,” tambahnya.
Pada orang muda, penggunaan otak kiri dalam kehidupan sehari-hari sangat dominan hingga membuat mereka sangat kalkulatif. Sedangkan pada orang tua, penggunaan otak sudah bergeser dari otak kiri ke kanan hingga membuat mereka lebih arif dan peduli pada nilai, tidak murni rasional.
“Pematangan korteks prefrontal di otak bagian depan hanya bisa dibentuk melalui pengalaman,” kata Taufiq yang juga dosen di Fakultas Kedokteran Unsrat. Korteks prefrontal berfungsi untuk penilaian, perencanaan, pengoordinasian, dan pengendalian emosi.
Psikolog kognitif dari Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Galang Lufityanto mengatakan, semakin bertambah umur, seseorang akan makin menggunakan strategi exploit (mengeksploitasi) dalam menggunakan informasi. Pola itu membuat orang tua cenderung hanya menggunakan informasi yang terbukti benar berdasar pengalaman yang dialami.
“Kondisi itu berkebalikan dengan orang muda yang cenderung menggunakan strategi explore (menjelajahi), yaitu mencari tahu dulu dan mengumpulkan banyak informasi sebelum memutuskan mana yang terbaik,” katanya. Contoh sederhana dari strategi berpikir itu, orang tua cenderung memilih tempat makan yang itu-itu saja, sedang orang muda lebih suka berpindah-pindah tempat makan.
Situasi itu terjadi karena semakin bertambah umur, manusia akan mengembangkan kebijaksanaan (wisdom) atau kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang di dapat bertahun-tahun sebelumnya untuk membuat keputusan yang efektif.
Manajemen diri yang baik akan memengaruhi kendali diri. Sementara kendali diri adalah pondasi integritas. Dengan status menteri yang disandang, seseorang akan memiliki ruang gerak yang luas, juga sumber daya yang besar. Tanpa ada kendali diri, seorang menteri mudah terjebak korupsi.
“Kelemahan mendasar pada orang muda adalah kendali diri,” kata Taufiq. Jika Presiden ingin menunjuk menteri dari kalangan orang muda, selain rekam jejak yang terukur, penilaian psikologi dan spiritual juga perlu dilakukan.
Keunggulan
Seorang menteri dituntut mampu berinovasi dalam mengembangkan kebijakan dan menjalan program pemerintah. Kemampuan berinovasi itu penting untuk menghadapi dunia yang berkembang cepat, tsunami informasi, dan banyak hal yang menuntut adanya perubahan.
Kondisi itu akan sulit dihadapi jika seseorang berpikir kaku, tidak terbuka dengan pengalaman dan peluang baru, serta tak bisa berpikir diluar kebiasaan. Pada aspek inovasi inilah orang muda unggul dibanding orang tua.
Menurut Galang, mengutip buku The Wisdom Paradox karya Elkhonon Goldberg (2005), manusia memiliki dua sistem memori, yaitu crystalized intelligence (CI) yang menyimpan informasi spesifik berupa kumpulan pengetahuan serta pengalaman dan fluid intelligence (FI) yang memproses informasi baru.
Persoalannya, seiring berjalannya umur, FI turun drastis dan CI relatif stabil. Konsekuensinya, makin tua umur seseorang maka kemampuannya memproses informasi baru makin hilang. “Hal itulah yang membuat orang tua cenderung kurang kreatif dibanding orang muda,” kata Galang.
Dari berbagai perkembangan kemampuan kognitif manusia itu, maka penunjukan menteri perlu disesuaikan dengan tujuan dan tantangan di tiap kementerian. Kementerian yang lebih membutuhkan konsistensi atau memelihata praktik terbaik lebih cocok dipimpin orang tua. Sebaliknya, kementerian yang lebih butuh eksplorasi terhadap langkah yang akan ditempuh lebih cocok dipimpin orang muda.
“Memilih pemimpin yang inovatif pada situasi organisasi yang butuh stabilitas bukan tindakan bijaksana,” tambah Galang. Demikian sebaliknya, memilih pemimpin yang mementingkan stabilitas dan keajegan pada organisasi yang menuntut perubahan dinamis, juga tidak tepat.
Berdasar kondisi itu, Taufiq menilai kementerian yang mengurusi sektor dalam negeri, luar negeri, pertahanan, pendidikan serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak cocok dipimpin orang tua. Sedangkan kementerian yang mengurusi perindustrian, pariwisata, komunikasi dan informatika serta ekonomi kreatif pantas dipimpin orang muda.
Dengan demikian, lanjut Galang, kesadaran akan proses kognitif yang salah satunya terkait usia bisa dimanfaatkan untuk memilih menteri yang sesuai dengan karakter kementeriannya. Meski kemungkinkan anomali tetap ada, misal orang tua berjiwa muda atau anak muda tapi bijaksana, namun itu hanya pengecualian.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 19 Oktober 2019