Siklon atau badai tropis bernama Corentin saat ini tumbuh di Samudra Hindia sekitar barat dan barat daya Australia. Namun, badai itu bergerak ke selatan dan menjauhi Indonesia sehingga tidak memberi dampak signifikan pada wilayah Indonesia.
Sesuai perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), akhir bulan ini, sejumlah wilayah di Indonesia memang sedang puncak musim hujan sehingga curah hujan kemungkinan meningkat. “Contohnya Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) kami perkirakan masuk puncak musim hujan antara akhir Januari dan pertengahan Februari,” kata Kepala Bidang Informasi Meteorologi Publik BMKG A Fachri Radjab, Senin (25/1), di Jakarta.
Melalui siaran pers, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Yunus S Swarinoto menjelaskan, badai Corentin pada posisi sekitar 75,9 derajat bujur timur dan 27,2 derajat lintang selatan. “Memperhatikan posisi tersebut yang cukup jauh, siklon tidak memberi dampak signifikan pada cuaca di Indonesia saat ini,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terdapat sejumlah fenomena atmosfer di luar faktor badai Corentin yang menjadi faktor menguatnya potensi peningkatan curah hujan saat ini. Salah satunya, aktivitas angin muson Asia yang berpotensi menguat dalam beberapa hari ke depan. Angin muson berembus dari Asia menuju area Australia dan membawa massa udara dingin.
Di sisi lain, fase basah Osilasi Madden Julian (MJO) akan masuk wilayah Indonesia dan angin baratan akan lebih dominan seiring menguatnya seruakan dingin. Indonesia bagian barat, terutama Sumatera bagian barat dan selatan, menerima banyak curah hujan karena kawasan Samudra Hindia memberikan tambahan pasokan uap air.
Melihat kondisi itu, BMKG memperkirakan potensi peningkatan hujan beberapa hari mendatang di Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Tenggara, Maluku bagian tengah, serta Papua bagian tengah. Peningkatan tinggi gelombang diprediksi di perairan selatan Jawa hingga NTB, Laut Natuna, Selat Makasar, Laut Sulawesi, perairan Kepulauan Sangihe, Laut Maluku, dan perairan utara Papua.
Kurang hujan
Secara khusus, kemunculan El Nino dalam skala moderat hingga kuat sejak Juni 2015 masih mengakibatkan curah hujan musim hujan tahun ini rendah. Penurunan curah hujan hingga akhir musim hujan pada April 2016 terkait pengaruh El Nino.
Hal itu disampaikan Mulyono Rahadi Prabowo, Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG.
Rendahnya curah hujan sepanjang musim hujan yang berlangsung sejak September 2015 ditunjukkan adanya penyimpangan pembentukan siklon tropis di selatan dan utara Indonesia. Berdasarkan pengamatan di Pusat Cuaca Siklon Tropis (Tropical Cyclone Weather Center/TCWC) BMKG, kata Zakiah, prakirawan di TCWC, sejak September hingga Januari tidak terbentuk siklon tropis.
“Tekanan udara rendah yang terbentuk di Samudra Hindia selatan Indonesia terbatas hanya menjadi bibit siklon tropis kemudian meluruh. Bibit tidak berkembang menjadi siklon tropis,” katanya. Kecepatan bibit siklon sekitar 20 knot atau 36 km per jam. Pusaran masa udara disebut siklon tropis apabila kecepatannya minimal 63 km per jam.
Pada pola normalnya, siklon tropis akan muncul rata-rata 1-2 kali dalam sebulan sejak September hingga Januari. Ketiadaan siklon itu berdampak rendahnya suplai masa udara atau hujan di wilayah Nusa Tenggara, Bali, Jawa, hingga selatan Sumatera.
Siklon tropis tidak muncul di Samudra Hindia selatan Indonesia karena massa udara di wilayah Indonesia tertarik ke Samudra Pasifik akibat fenomena El Nino. Fenomena itu berupa munculnya wilayah perairan bersuhu di atas normal yang disebut “kolam hangat” di ekuator Pasifik. “Saat ini suhu muka laut di Pasifik barat sekitar 30 hingga 32 derajat celsius,” ujar Zakiah.(JOG/YUN)
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Petir dan Hujan Lebat Tak Terkait Badai Tropis”.