Setelah bertahun-tahun mengeksploitasi dan berulang kali mengalami kebakaran hutan pada areal gambut yang berdampak parah, akhirnya Indonesia memiliki Peta Kesatuan Hidrologis Gambut. Peta tematik resmi dalam program Satu Peta ini menunjukkan lokasi-lokasi areal hidrologis gambut di seluruh Indonesia seluas 26.353.976 hektar.
“Peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) ini mencakup tanah gambut dan tanah mineral yang berada di antara dua sungai. Daerah sekitar perlu dipetakan karena menggembosi (merusak) gambut bisa dari luar tanah gambut,” kata Priyadi Kardono, Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Rabu (23/12) di Jakarta.
Selain Peta KHG, BIG juga meluncurkan peta tematik Penutup Lahan, Mangrove, Karakteristik Perairan Laut, Sedimen Dasar Laut, dan Multirawan Bencana. Peta-peta ini disusun lewat kerja sama lintas instansi/lembaga yang dikoordinasi satu walidata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Priyadi mengatakan, KHG seluas 26,3 juta terdiri dari tanah gambut 14.858.550 hektar dan tanah mineral 11.495.065 hektar yang berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Data ini akan didetailkan hingga bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mengambil berbagai kebijakan, khususnya terkait tata kelola lahan dan antisipasi kebakaran.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar memukul gong dalam acara peluncuran Satu Peta berbagai peta tematis, Rabu (23/12) di Jakarta.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyambut baik peta indikatif KHG. Ia berharap, peta ini lebih didetailkan agar pengambilan kebijakan lebih tepat dan sesuai kondisi lapangan.
Dari pengalaman sebagai birokrat di Kementerian Dalam Negeri, kata Siti, peta merupakan modal penting untuk penyelesaian berbagai masalah. Ia mencontohkan kasus kerusuhan Ambon dan Sampit yang penyelesaiannya menggunakan peta tutupan lahan/permukiman dan pertanian.
Ia menyatakan, ke depan diperlukan peta-peta yang menjawab isu krusial seperti peta tambang rakyat dan peta perkebunan sawit. Melalui peta yang bisa di-overlay dengan peta-peta terkait, bisa didapatkan solusi dalam penyelesaian masalah dan kebijakan tepat.
ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas Siang | 23 Desember 2015
————
Ekosistem Rawa Gambut; Peta Indikatif Tersedia, Peta Detail Menyusul
Indonesia kini memiliki peta resmi tematik kesatuan hidrologis gambut. Informasi geospasial itu jadi acuan dimulainya pemetaan lebih rinci untuk penetapan fungsi ekosistem gambut dan perencanaan restorasi gambut yang telanjur terbuka dan terbakar.
Peta indikatif yang jadi bagian Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) itu berisi 673 kesatuan hidrologis gambut (KHG) yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas KHG mencapai 26.353.976 hektar, terdiri dari tanah gambut 14.858.550 hektar dan tanah mineral 11.495.065 hektar.
Pembuatan peta KHG diamanatkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. KHG ialah ekosistem gambut yang terletak di antara dua sungai, antara sungai dan laut, dan atau di rawa. Peta itu menjadi dasar pembuatan peta yang lebih rinci untuk pengelolaan atau perlindungan gambut.
“Kesatuan hidrologis gambut tak hanya gambut itu sendiri, tetapi juga lingkungan sekitar di antara dua sungai. Kalau mau memelihara gambut, harus pelihara lingkungan sekitarnya,” kata Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Priyadi Kardono, Rabu (23/12), di Jakarta, seusai peluncuran peta tematis KHG.
Wali data
Pada acara yang dihadiri Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar itu juga diluncurkan peta indikatif tematis penutup lahan, mangrove, karakteristik perairan laut, sedimen dasar laut, dan multirawan bencana. Peta-peta itu disusun lewat kerja sama lintas instansi/lembaga dengan koordinasi satu wali data. Terkait gambut, wali data yang ditunjuk BIG ialah Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian LHK.
Peta KHG disebut peta indikatif karena masih didetailkan hingga skala 1:50.000 dan 1:5.000. Menurut Priyadi, pihaknya punya sejumlah KHG dilengkapi peta 1:50.000. Peta 1:50.000 jadi dasar Menteri LHK menetapkan fungsi lindung dan budidaya.
Adapun peta 1:5.000 disusun berdasarkan skala prioritas kebutuhan, terutama daerah gambut yang rusak, seperti di Pulang Pisau (Kalimantan Tengah), Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin (Sumatera Selatan), serta Meranti (Riau). Peta itu jadi acuan bagi Badan Restorasi Gambut, lembaga yang dijanjikan Presiden Joko Widodo untuk memperbaiki ekosistem rawa gambut yang telanjur dibuka dan terbakar.
“Peta untuk restorasi harus rinci agar tak salah penanganan. Misalnya, mau pasang kanal blocking, tetapi malah menguras air karena peta tak tepat,” kata MR Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian LHK. Penyusunan peta 1:5.000 diperkirakan selesai dalam dua tahun dan bisa dipercepat saat Badan Restorasi Gambut mulai beroperasi.
Peta KHG itu akan dilapisi peta konsesi, peta tutupan lahan, dan peta lain sebagai dasar pengambilan kebijakan. Jika konsesi ada di areal gambut berfungsi lindung, fungsinya harus dikembalikan sebagai fungsi lindung.
Menurut PP No 71/2014, syarat ekosistem gambut berfungsi lindung antara lain harus 30 persen dari KHG, ketebalan gambut lebih dari 3 meter, ada spesies endemis/spesifik/dilindungi, dan masuk kawasan konservasi lindung secara regulasi serta tata ruang. Agar perusakan tak kian masif, sejak 3 November 2015, Menteri LHK mengeluarkan surat edaran agar pemilik konsesi tidak lagi membuka atau mengeksploitasi gambut. (ICH)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul “Peta Indikatif Tersedia, Peta Detail Menyusul”.