Gelombang panas yang melanda Eropa mencapai titik ekstrem dalam dua hari terakhir. Satu demi satu negara memecahkan rekor suhu tertinggi sepanjang sejarah. Perubahan iklim menyebabkan frekuensi gelombang panas kini 10 kali lebih sering dibandingkan dengan 100 tahun lalu.
Sementara di Indonesia, hal itu memicu musim kemarau lebih panas dan kering. Laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), Jumat (26/7/2019), menyebutkan, suhu udara di Eropa mencapai rekor tertinggi sehingga mengancam kesehatan warga dan lingkungan.
Sejumlah ilmuwan mengingatkan, itu bisa jadi ”situasi normal baru” (the new normal) di dunia, ketika mutu udara akan menjadi amat buruk. Sejak era pra-industri, temperatur naik sekitar 1 derajat celsius. Di Paris, temperatur 41,6 derajat celsius, menumbangkan rekor terpanas pada 1947, yaitu 40,4 derajat celsius. Otoritas Perancis mengingatkan, temperatur masih akan naik akibat udara kering dan panas dari utara Afrika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menteri Kesehatan Perancis Agnes Buzyn menyebutkan, temperatur akan lebih panas daripada gelombang panas pada 2003 dan berdampak terhadap sekitar 20 juta warga Perancis. Pada 2003, ada 15.000 orang tewas di Perancis, sebagian besar berusia lanjut. Otoritas Perancis menginstruksikan agar petani di Oise tak memanen setelah ratusan hektar ladang gandum terbakar akibat gelombang panas dan seorang petani tewas.
Kemarin, Belanda mengumumkan, temperatur pada Kamis dan Jumat mencapai 40,4 derajat celsius. Untuk pertama kali, temperatur di negeri ini melewati 40 derajat celsius. Hal serupa terjadi di Inggris, Austria, Jerman, dan Belgia. Di Jerman, temperatur tertinggi 41,5 derajat celsius di kota Lingen.
Ganggu jadwal KA
Kondisi itu menyebabkan sejumlah jadwal keberangkatan kereta dihentikan. Otoritas Inggris meminta agar kecepatan kereta diturunkan demi mencegah penekukan rel akibat udara panas. Di Jerman, Swiss, dan Austria, komunitas menggelar gerakan mengecat jalur kereta api dengan warna putih, dengan harapan warna terang menurunkan temperatur.
Muncul pesan di mana-mana agar orang lebih banyak minum demi mencegah dehidrasi. Para sukarelawan di London dan Paris membagikan air minum kepada tunawisma serta membuka pusat penampungan agar mereka bisa berlindung dan mandi.
”Gelombang panas menjadi bukti perubahan iklim akibat ulah manusia. Itu konsisten dengan temuan ilmiah bahwa gelombang panas bakal lebih sering terjadi saat konsentrasi gas rumah kaca naik sehingga suhu global naik,” kata Johannes Cullmann, Direktur Departemen Iklim dan Air WMO.
Banyak riset membuktikan kaitan perubahan iklim dan gelombang panas. Laporan studi ilmuwan dari World Weather Attribution menyimpulkan, gelombang panas di Eropa lebih intens akibat perubahan iklim disebabkan oleh manusia. Gelombang panas ini 10 kali lebih sering daripada seabad lalu.
Wakil Presiden Himpunan Ahli Geofisika Indonesia Bidang Meteorologi, Klimatologi, dan Oseanografi Siswanto mengatakan, gelombang panas di Eropa diperkirakan tak berdampak pada Indonesia karena sistem sirkulasi udaranya berbeda dan aliran angin tak mengarah ke Indonesia. Suhu panas lebih dari 50 derajat celsius kecil peluangnya terjadi di Indonesia.
Namun, kini, menurut Siswanto yang juga Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, iklim global lebih hangat dan kering, termasuk di Indonesia. Suhu di Indonesia pada musim kemarau Juni ini 1,25 derajat celsius lebih tinggi daripada periode 1981-2010, terutama di Jakarta, Sumatera, dan Sulawesi. (AP/REUTERS/MYR/AIK)
Sumber: Kompas, 27 Juli 2019