Pelestarian lingkungan dan hutan dinilai akan efektif jika memberi manfaat bagi masyarakat, termasuk lewat metode pertanian ramah lingkungan. Pemberdayaan masyarakat itu bisa menjamin pasokan air di masa depan untuk kebutuhan masyarakat sekitar.
Hal itu dikemukakan para pelaku pertanian berkelanjutan dalam diskusi “Praktik Terbaik Adaptasi Perubahan Iklim”, Jumat (19/6), di Jakarta. Para pembicara antara lain Ketua Gabungan Kelompok Tani Simpatik Tasikmalaya, Jawa Barat, Hendra Affandi; Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Ngrancah, Magelang, Jawa Tengah, Mukidin; dan pengurus Paguyuban Petani Pengelola Tanaman Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Hery Supriyatna.
Hendra mengatakan, tahun 2000 ia memelopori intensifikasi pertanian padi dengan bahan alami dan produktivitasnya 8 ton per hektar. Sementara pertanian konvensional dengan pupuk dan pestisida kimia hanya menghasilkan 4 ton per hektar. Sejak 2006, beras organik dari lahan seluas 12.000 hektar di Tasikmalaya bersertifikat The Institute of Marketecology dan bisa diekspor di antaranya ke Singapura, Jerman, dan Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan pertanian organik, kebutuhan air tercukupi meski lahan pertanian itu berjarak 25 kilometer dari sumber air di Gunung Galunggung. Karena memakai pupuk organik, kemampuan tanah mengikat air tinggi sehingga hemat air. “Jika pakai pupuk kimia, kemampuan mengikat air rendah. Air harus menggenang karena tanah akan kering dan pecah-pecah jika dalam satu minggu tak tergenang,” ujarnya.
Di Magelang, kata Mukidin, masyarakat Desa Ngrancah menerapkan pertanian organik di lahan 150 hektar. Lahan yang semula kritis jadi produktif. Agar kuantitas dan mutu air terjaga, warga melindungi mata air dengan melarang pemakaian bahan kimia pada pertanian, membuat sumur resapan di permukiman dan hutan, serta mempertahankan sekitar 500 pohon.
Setelah 12 tahun program berjalan, jumlah mata air bertambah, dari 11 titik menjadi 22 titik. Bahkan, Desa Ngrancah membantu penyediaan air 4 desa tetangga serta PDAM. Tarif air di Desa Ngrancah pun amat murah, Rp 30 per meter kubik (tarif rata-rata nasional Rp 4.100 per meter kubik). Tarif dikutip hanya untuk jasa pemeliharaan pipa.
Hery memaparkan, masyarakat menjalankan wanatani di lahan hutan sekitar 13.000 hektar, bagian dari Daerah Aliran Sungai Citarum di Pangalengan. Mereka menanam pepohonan yang menahan air dan menghasilkan pemasukan antara lain tanaman kopi, jeruk, dan kayu putih. Itu mendorong debit air dari 8 liter per detik jadi 14 liter per detik.
Insentif
Hal itu menunjukkan, potensi lokal tak bisa diabaikan dalam memenuhi kebutuhan air nasional. Menurut peneliti Pusat Pengkajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Soegijapranata, Wijanto Hadipuro, pertanian berkelanjutan perlu insentif dari pemerintah.
“Jerman, Finlandia, dan Norwegia memberi subsidi untuk mendorong pertanian ramah lingkungan,” ujarnya. Subsidi Pemerintah Indonesia kerap salah sasaran, misalnya subsidi bensin menghambat penurunan emisi gas rumah kaca. (JOG)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juni 2015, di halaman 13 dengan judul “Pertanian Berkelanjutan Bisa Melestarikan”.