Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan kembali rangkaian pengelolaan ekosistem gambut. Kali ini, peraturan itu menyasar pada penataan dan perlindungan puncak kubah gambut untuk jadi menara air bagi lanskap sekelilingnya.
Pengaturan ini ada pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). “Peraturan ini menguatkan Peraturan Menteri LHK Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut,” kata Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sabtu (13/4/2019) di Jakarta.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Karyawan PT Mayangkara Tanaman Industri, Senin (18/3/2019), memeriksa saluran air pada kanal konsesi perusahaan hutan tanaman industri di Kalimantan Barat. Memastikan lahan gambut tetap basah merupakan kewajiban perusahaan untuk menjaga arealnya tidak rentan kebakaran hutan dan lahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peraturan Menteri LHK 10/2019 jadi dasar bagi pengelola konsesi di area gambut menentukan puncak kubah gambut. Puncak kubah gambut ialah titik tertinggi kontur lanskap KHG dengan kedalaman gambut lebih dari tiga meter.
Setelah puncak kubah gambut ditetapkan, pengelola konsesi hutan tanaman industri (HTI) yang telanjur menanam di area itu boleh melanjutkan hingga satu panen (5-7 tahun). Itu dilakukan dengan menjaga kondisi gambut basah atau lembab yakni menjaga tinggi muka air tanah (TMAT) tak lebih dari 40 sentimeter (cm).
“Setelah tebang, wajib ditanam kembali dengan tumbuhan khas gambut seperti geronggang dan mahang. Dikembalikan jadi hutan alam,” kata Bambang Hendroyono.
Sumber air
Puncak kubah gambut dikelola jadi sumber air bagi lanskap sekitar. Pasokan air dibutuhkan konsesi saat musim kemarau serta menjaga gambut basah sehingga menurunkan risiko kebakaran hutan dan lahan.
Jika area gambut di luar konsesi, pengelola hidrologis gambut ialah pemerintah provinsi dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Pengelolaan gambut tak hanya konsesi tapi KHG karena lanskap gambut terhubung dengan yang lain.
“Seluruh areal harus dipastikan tata kelola gambutnya berkelanjutan demi menjamin tata kelola KHG,” ujarnya. Tiap pembangunan drainase, sekat kanal, dan sarana prasarana wajib memerhatikan dampaknya pada lanskap KHG.
Dengan demikian, penerbitan Peraturan Menteri LHK 10/2019 mendukung pemberian akses perhutanan sosial di lahan gambut. Izin itu dinanti para pegiat perhutanan sosial dan restorasi gambut. Alasannya, bila mendapat kepercayaan mengelola hutan di gambut, warga turut menjaga gambut dari ancaman kebakaran.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto menambahkan, Peraturan Menteri LHK 10/2019 jadi payung hukum pemberian akses perhutanan sosial. “Kami ada 230.000 hektar (calon perhutanan sosial) yang siap, tinggal jadi SK,” ungkapnya.
Isnadi Esman, Sekretaris Jenderal Jaringan Masyarakat Gambut Riau mengatakan ketiadaan Permen LHK terkait perhutanan sosial di lahan gambut jadi kendala pemberian akses perhutanan sosial. Peraturan Menteri LHK 10/2019, perlu ditindaklanjuti dengan aturan yang membuka akses itu.
Dari 1,4 juta hektar alokasi target perhutanan sosial di Riau, 70 persennya ada di lahan gambut. Dari target itu, tercapai sekitar 200.000 ha.–ICHWAN SUSANTO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 15 April 2019