Perpindahan ibu kota negara dari Jakarta ke daerah lain di luar Jawa menciptakan momentum melakukan koreksi pada tata kelola lingkungan. Pembangunan ibu kota baru juga menjadi momentum untuk mengubah persepsi atau cara pandang terhadap jasa lingkungan dan ekosistem.
KOMPAS/BRIGITTA ISWORO LAKSMI–Dialog Nasional II: Pemindahan Ibu Kota Negara, Jakarta, Rabu (26/6/2019). Dari kiri ke kanan Connie Rahakundini Bakrie, Edy Prasetyono, Ernan Rustiadi, Sonny Keraf, Moeldoko, Bambang Brodjonegoro, Laksmi Wijayanti, Mudradjad Kuncoro, Riatu Mariatul Qibthiyyah, dan Retno Pinasti
Perpindahan ibu kota negara dari Jakarta ke daerah lain di luar Jawa menciptakan momentum melakukan koreksi pada tata kelola lingkungan. Pembangunan ibu kota baru juga menjadi momentum untuk mengubah persepsi atau cara pandang terhadap jasa lingkungan dan ekosistem.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal itu ditegaskan Pelaksana tugas Inspektur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Wijayanti, mewakili Menteri LHK Siti Nurbaya, seusai Dialog Nasional II: Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) membahas tentang dampak ekonomi, lingkungan hidup, dan pertahanan keamanan, di Jakarta, Selasa (26/5/2019).
Selain Laksmi Wijayanti pembicara lainnya yaitu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro, dan Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko.
Sebagai pembahas bidang ekonomi yaitu Direktur Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LPEM FEB) UI Riatu Mariatul Qibthiyyah, guru besar ekonomi UGM Mudradjad Kuncoro, Menteri Lingkungan Hidup 1999-2001 Alexander Sonny Keraf, Peneliti senior Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB Ernan Rustiadi membahas permasalahan lingkungan, Edy Prasetyono dari FISIP UI dan Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Industri Pertahanan Nasional Connie Rahakundini Bakrie menanggapi masalah pertahanan dan keamanan.
“Saya melihat setiap upaya yang mempunyai impact (dampak) besar dan strategis, skala nasional itu menjadi momen tepat untuk mempercepat semua corrective action (aksi koreksi). Selain itu saya kira ini momen pas untuk bicara tata kelola (kehutanan),” kata Laksmi.
Ernan dan Sonny Keraf menekankan tentang ancaman kebakaran hutan bila ibu kota negara dipindahkan ke Kalimantan. Menurut Ernan, sepertiga wilayah terdiri dari lahan basah. Dia juga mengingatkan tentang pertimbangan tentang daya dukung lingkungan dia menyarankan, “Sebaiknya menghindari lahan basah (untuk dibangun).”
Sementara Sonny menegaskan, pembangunan harus visioner, sehingga ke depan tidak memberi dampak serius ke seluruh Kalimantan. “Kita harus perhitungkan hingga 100-200 tahun ke depan. Selain itu, dalam menghadapi persoalan lingkungan hidup jangan bersifat reaksioner,” ujarnya.
Aspek ekonomi
Sementara dari sisi ekonomi Bambang menegaskan, pemindahan ibu kota akan tidak akan menurunkan perekonomian negara meskipun peningkatan ekonomi hanya sekitar 0,1 persen.
Mudradjad menggarisbawahi, agar pemindahan ibu kota dapat mengurangi kesenjangan ekonomi baik antarwilayah maupun di dalam wilayah sendiri. Saat ini pertumbuhan ekonomi ternyata tidak sejalan dengan penurunan tingkat kesenjangan karena ternyata pertumbuhan telah memberi keuntungan pada kelompok menengah ke atas.
Rencana pemindahan ibu kota negara muncul sekitar April 2019 yang ditegaskan Presiden Joko Widodo disusul dengan kunjungan ke tiga lokasi yang dipandang prospektif. Pemindahan ibu kota negara, menurut Bambang harus berada di tengah-tengah wilayah negara yang ternyata berada di selat antara Kalimantan dan Sulawesi.
Moeldoko mengatakan akan perlu upaya besar untuk memindahkan pusat pertahanan di Kalimantan. Sementara menurut Connie, di masa depan perang tak lagi berupa perang territorial sehingga perlu dibangun pertahanan yang modern karena perang masa kini dapat dikendalikan dari jauh dengan teknologi.
Oleh BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 27 Juni 2019