Di zaman teknologi digital, pola asuh orangtua sering kali digantikan oleh gawai. Anak-anak generasi Z yang disebut juga generasi net sudah diperkenalkan pada gawai sejak usia mereka di bawah lima tahun.
Hasil jajak pendapat Kompas pada 18-19 Juli 2018 memperlihatkan sikap permisif orang dewasa, tidak hanya orangtua, terhadap penggunaan gawai pada anak. Mayoritas responden (83,1 persen) berpendapat anak berusia 13 tahun ke atas sudah bisa diizinkan menggunakan gawai yang tersambung internet. Namun, terdapat 15,8 persen responden yang mengizinkan anak di bawah usia 13 tahun menggunakan gawai yang tersambung internet.
Sikap permisif ini sejalan dengan temuan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada awal 2018 bahwa penggunaan internet oleh individu sebanyak 65,34 persen berusia 9-19 tahun. Umumnya anak-anak menggunakan internet untuk mengakses media sosial, juga Youtube dan gim daring.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski mengizinkan anak-anak tersambung dengan internet, responden (49 persen) menyadari anak-anak perlu didampingi ketika mengakses konten internet. Menurut responden, konten internet yang paling berdampak buruk terhadap anak adalah pornografi (62,3 persen). Disusul dengan konten yang mengandung aksi kekerasan (14,2 persen) dan gaya hidup yang mengarah konsumtif (8,5 persen).
Anak pada usianya yang belum matang dan mencari jati diri rentan meniru perilaku orang lain, baik yang dilihat langsung maupun lewat tontonan. Salah satu kasus yang bisa jadi pelajaran bagi orangtua adalah pembunuhan sopir taksi daring di Semarang pada 20 Januari 2018 yang dilakukan anak-anak usia 15 dan 16 tahun. Anak-anak ini diduga terpengaruh permainan gim daring yang bertema kekerasan.
Gim daring diyakini responden (34,3 persen) memberikan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak karena gim daring didesain untuk membuat seseorang terus bermain, menjadi candu. Portal daring dan media sosial juga memberikan dampak negatif meski tidak sebesar gim daring.
Karena itu, perlu dibangun aturan yang membatasi akses terhadap internet oleh anak secara berlebihan. Aturan itu, misalnya, membatasi waktu penggunaan.
Memeriksa gawai dan medsos anak juga merupakan langkah bijak. Namun, lebih penting lagi orangtua memberikan contoh penggunaan gawai yang benar, termasuk tidak menggunakan gawai di depan anak. (LITBANG KOMPAS) –GIANIE
Sumber: Kompas, 24 Juli 2018
—————-
Batasi Gawai pada Anak
KOMPAS/RIZA FATHONI–Anak-anak bercengkerama dengan gawai di kawasan Cideng, Jakarta Pusat, Rabu (18/7/2018). Penggunaan gawai oleh anak-anak memerlukan pengawasan, panduan dan pembatasan dari orangtua untuk mencegah dampak negatif dari paparan media sosial dan gim daring.
Kecanduan gawai pada anak seharusnya bisa dicegah, jika orang tua menyadari dampak buruk dari penggunaan gawai pada anak. Selain mengawasi, orang tua dan guru harus membatasi penggunaan gawai pada anak agar jangan sampai berlebihan.
Kendati fenomena kecanduan gawai di kalangan anak-anak kian mengkhawatirkan, saat ini tidak banyak orangtua mengerti dan menyadari bahaya yang membayangi anak-anak. Padahal, orangtua berperan besar untuk mencegah anak kecanduan gawai dengan mengontrol dan mengawasi serta membatasi waktu penggunaan gawai pada anak-anak.
Ketegasan orangtua sangat penting untuk menyelamatkan anak-anak dari kecanduan gawai. Sebab, kenyataan, selain menganggap itu bukan persoalan serius, sejumlah orang tua menjadikan gawai sebagai “kompensasi” atas minimnya waktu berinteraksi dengan anak karena kesibukan kerja. Tak hanya itu, gawai menjadi alat orangtua untuk mengalihkan perhatian anak agar tidak mengganggu kesibukannya.
Psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, menyatakan ketidaktegasan orang tua dalam membatasi waktu anak-anak bermain gawai terutama gim daring merupakan salah satu faktor anak menjadi kecanduan gawai. Faktor lain adalah kurangnya literasi orangtua pada teknologi, serta orang tua kurang percaya diri memberikan aturan karena takut anak akan mengamuk ketika gawainya diambil.
“Banyak di antara orangtua kurang literasi dan gagap teknologi sehingga bisa dibohongi anaknya. Umumnya orang tua tidak tahu bahwa aplikasi atau konten tertentu seharusnya dihindari oleh anak, serta tidak tahu bagaimana cara mengaktifkan perangkat di gawai yang bisa mengontrol anak-anak agar tidak mengakses konten negatif,” ujar Anna di Jakarta, Senin (23/7/2018).
KOMPAS/RIZA FATHONI–Gawai menjadi salah satu medium bagi anak muda untuk bersosialisasi.
Padahal, selain komunikasi dan menjadi sarana untuk menambah ilmu dan pengetahuan, membangun jejaring pertemanan, membangun kelompok seminat (hobi), dan meningkat kreativitas, penggunaan gawai pada anak dan remaja membahayakan mereka. Bahkan saat ini, potensi negatif tersebut yang lebih mendominasi, seperti pengaruh informasi yang bersifat komersial, iklan palsu, konten kekerasan dan agresivitas, serta konten seksual dan pornografi.
“Sayangnya, kesadaran orangtua bahwa anak mudah terpapar konten negatif lewat internet masih minim. Saat diperlihatkan, misalnya hanya dengan mengetik kata kunci “porn” di Google bisa langsung muncul berbagai konten tidak layak dilihat anak, orangtua langsung kaget. Belum lagi konten yang muncul di media sosial, seperti Facebook,” kata Ketua Umum Gerakan Nasional Literasi Digital Dedy Permadi di Jakarta.
Sikap orang tua berpengaruh
Namun, jika penggunaan gawai tidak dikendalikan dan dibatasi, anak-anak akan kecanduan. Masalahnya, kecanduan anak pada gawai juga dipengaruhi oleh sikap orang tuanya sendiri. Misalnya, ada orangtua yang sengaja memberikan gawai yang mahal kepada anaknya supaya kelihatan bergengsi dan kaya di lingkungan masyarakat.
Ada orang tua juga tidak satu suara dalam menerapkan aturan di rumahnya. Akhirnya akan timbul dalam pikiran anak sosok jagoan dan penjahat dalam keluarga. “Harus ada kesepakatan dalam keluarga. Jangan, ibu melarang anak main gim daring pada malam hari, tapi ayahnya mengizinkan dengan meminta anaknya jangan bilang ke ibunya. Itu sudah jadi masalah, anak akan berpikir peraturan dibuat bisa dilanggar,” ujar Psikiater yang juga Kepala Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, Iman Firmansyah.
Untuk mengatasi kecanduan gim daring misalnya, orangtua harus mendampingi anak setidaknya mengambil waktu bermain gim bersama sehingga tahu apakah gim yang dimainkan anaknya sesuai dengan usianya atau berpotensi menimbulkan kecanduan. Selain itu, orangtua harus bijak ketika memberikan gawai pada anak dengan melihat usia anak.
“Ada orangtua yang punya ego, yakni merasa malu kalau anaknya tidak mengerti masalah main gim. Kadang-kadang orangtua bangga anaknya bisa main gim. Padahal kalau anak sudah merasa enak main gim, akan menempel di memori dan susah dihilangkan. Jangan anggap remeh anak kecanduan gim daring, beberapa pasien saya orangtuanya sudah menyerah sama sekali. Karena kalau sudah kecanduan gim nanti dia bisa kecanduan narkoba, pornografi dan lain-lain,” ujar Iman.
Bagi orangtua, ada banyak alasan mengapa anak-anak mereka diberikan gawai. Nita (38) ibu dari satu anak, yang tinggal di Malang, Jawa Timur, misalnya. Ia mengakui memperkenalkan gawai pada anaknya sejak usia 5 tahun. “Kalau saya lagi sibuk kerja, saya berikan gawai pada anak saya agar tidak rewel,” ujarnya.
Bagi orangtua yang suami-istri bekerja pengawasan terhadap anak saat menggunakan gawai di rumah tidak mudah. Apalagi, saat anaknya libur sekolah, orang tuanya tidak bisa mendampingi di rumah karena terus bekerja. “Anak-anak di rumah sepanjang hari, kami bekerja sehingga sulit mengawasinya ketika bermain gawai,” ujar Rahma (43) warga Tangerang Selatan.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA–Penting bagi orang tua mengawasi anak-anak saat berselancar di dunia maya melalui gawainya. Pilihan bijak bisa melindungi anak-anak dari dampak buruk teknologi.–Kompas/Lucky Pransiska (UKI) 08-10-2015
Cara paling jitu
Menghadapi kecanduan gawai pada anak, menurut dosen psikologi sosial Universitas Indonesia Laras Sekarasih dibutuhkan pendidikan dan penyadaran bagi para orangtua mengenai cara yang aman mengenalkan gawai kepada anak.
“Cara paling jitu ialah memberi pengertian kepada anak. Mulai dengan bertanya kepada anak mengenai jenis-jenis fitur ataupun pemainan yang senang mereka akses di gawai dan media sosial. Kemudian, minta anak menjelaskan alasan mereka menyukai fitur tersebut,” katanya.
Jika ternyata konten tersebut belum layak untuk anak, tanyakan bagaimana anak bisa mengaksesnya. Jangan langsung dimarahi karena akan berdampak kontraproduktif dan anak tetap mengonsumsi konten itu secara sembunyi-sembunyi.
“Tanyakan menurut kamu apakah konten ini sesuai dengan budaya kita? Lalu biarkan anak menganalisanya. Beri mereka pertanyaan-pertanyaan reflektif seperti ‘menurut kamu kenapa permainan/tontonan/bacaan ini dikhususkan untuk umur 17 tahun ke atas? Cara ini merupakan tahapan anak merefleksikan dan bertanggung jawab atas perbuatannya,” tutur Laras.
Karena itulan, orangtua dan guru jangan hanya sekadar memarahi dan melarang. Keterbukaan informasi justru memberi anak pemahaman mengenai hal baik dan buruk serta melatih mereka mengambil keputusan sejak dini.
“Anak yang menyukai konten berisi kekerasan tidak berarti menjadikan anak tersebut agresif. Sering anak tidak bisa mengekspresikan emosi dengan baik, terutama emosi marah, sedih, kecewa, dan kesal, kemudian mereka melampiaskannya ke permainan dan tontonan yang sarat kekerasan.
Gawai dan sekolah
Selain keluarga, peran sekolah dalam melindungi anak-anak dari kecanduan gawai juga penting. Saat ini kebijakan sekolah terhadap gawai berbeda-beda. Ada yang melarang penuh tapi ada juga yan memberi kesempatan muridnya menggunakan gawai tapi dengan aturan tertentu.
SD Negeri Kebon Jeruk 11 Pagi Jakarta menerapkan e-pembelajaran menggunakan aplikasi Edmodo untuk memberi penugasan bagi siswa kelas 4,5, dan 6. Para guru juga mengajarkan pada muridnya tentang internet sehat. “Siswa tetap harus diajarkan tentang kemajuan teknologi, namun perlu diawasi,” kata Utami Dewi, Guru Seni Budaya dan Bahasa Inggris SD Negeri Kebon Jeruk 11 Pagi.
Di kalangan anak-anak, gawai yang terhubung sistem daring digunakan untuk berbagai kepentingan. Sejumlah murid SMP Negeri 229 Jakarta yang ditemui pekan lalu mengaku mereka menggunakan gawai untuk membuka akun sosial media, seperti WhatsApp, Instagram, Line, dan Facebook. “Selain untuk hiburan, kami menggunakan gawai untuk mencari bahan pelajaran sekolah,” ujar Della, muris kelas VIII SMP Negeri 229 Jakarta.
Najelaa yang juga Psikolog Pendidikan mengatakan selain memberi kesempatan anak belajar menggunakan teknologi atau lewat teknologi (membuat karya digital, kolaborasi di dunia maya dengan beberapa pihak), peraturan penggunaan gawai perlu masuk dalam kebijakan disiplin sekolah.
Peraturan penggunaan gawai, tambah Najelaa, perlu masuk dalam kebijakan disiplin sekolah. Kebijakan soal gawai perlu dikaitkan juga dengan kebijakan lain, misalnya antiperundungan, karena banyak perundungan di media sosial, termasuk mengajarkan murid dengan kejujuran akademik agar tidak melakukan plagiarisme atau mengutip pendapat tanpa sumbernya. (Sharon Patricia/Dionisia Gusda Primadita Putri/Regina Rukmorini/Deonisia Arlinta/Angger Putranto/Laraswati Ariadne Anwar/Cokorda Yudistira/Ismail Zakaria/Ester Lince Napitulu)–SONYA HELLEN SINOMBOR
Sumber: Kompas, 23 Juli 2018
———————
Aturan Penggunaan Gawai Diserahkan ke Sekolah
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi di sekolah mulai berkembang, termasuk gawai. Sekolah memiliki beragam sikap terhadap penggunaan gawai oleh siswa di sekolah.
Penggunaan gawai tidak terelakkan lagi, termasuk di sekolah. Untuk itu, sekolah harus mempunyai kemampuan membangun budaya, berdialog membuat kesepakatan, melibatkan orangtua, untuk kemudian mampu memberikan panduan dan batasan berkait gawai maupun literasi/kecerdasan digital.
Sekolah tidak mungkin tidak peduli dengan gawai karena gawai sudah masuk dalam sekolah dan proses belajar-mengajar. Hal ini baik berkait dengan gaya hidup, pelajaran teknologi informasi atau media literasi, Ujian Nasional Berbasis Komputer, eksktrakurikuler atau apapun.
“Tidak perlu panduan atau aturan dinas pendidikan maupun Kemdikbud. Sebab, yang perlu dibangun otonomi sekolahnya dan pemberdayaan muridnya,” kata Pendiri Sekolah Cikal Najelaa Shihab di Jakarta, Senin (23/7/2018).
Najelaa yang juga psikolog pendidikan mengatakan, hal paling mendasar yang perlu dilakukan sekolah terkait gawai adalah para pendidik sebagai orang dewasa di sekolah harus menjadi teladan penggunaan gawai yang baik. Keteladanan ini antara lain, guru tidak menyebar hoaks, guru mengajar dengan teknologi misalnya film atau presentasi, dan memberi kesempatan anak belajar menggunakan teknologi atau lewat teknologi (membuat karya digital, kolaborasi di dunia maya dengan beberapa pihak).
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Pendiri Sekolah Cikal Najelaa Shihab
Peraturan penggunaan gawai, tambah Najelaa, perlu masuk dalam kebijakan disiplin sekolah. Selain itu, kebijakan soal gawai perli dikaitkan juga dengan kebijakan lain, misalnya antiperundungan (karena banyak bullying atau perundungan di media sosial). Selain itu, berkaitan dengan kejujuran akademik agar murid tidak melakukan plagiarisme atau mengutip pendapat tanpa sumbernya.
Najelaa yang juga Dewan Pembina Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, mengatakan sekolah negeri maupun sekolah swasta menghadapi tantangan yang sama terhadap isu gawai di sekolah. Tantangan sekolah saat ingin mengajarkan literasi digital secara umum, yakni banyak sekolah yang masih merasa ini belum prioritas, sehingga cenderung membebaskan.
Ada pula banyak pihak sekolah yang tingkat kekhawatirannya tinggi atau merasa gagap teknologi sehingga cenderung melarang total. Ada juga sekolah yang sebetulnya punya masalah disiplin atau budaya yang lebih gawat, sehingga masalah gawai di siswa sebetulnya hanya simptom dari pelanggaran-pelanggaran di bidang lain juga.
Pelatihan
Menurut Najelaa, peningkatan kapasitas TIK misalnya bentuknya training (pelatihan) ke kepala sekolah, guru, dan orangtua perlu dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini sebenarnya sudah dilakukan sebetulnya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan Informasi, serta dinas-dinas pendidikan.
“Jadi sebetulnya isunya sudah menjadi isu prioritas berkait melawan hoaks, dan lain-lain. Tinggal memberi kesempatan sekolah implementasi dan mengumpulkan praktik baik,” ujar Najelaa.
Secara terpisah, Koordinator Gerakan Literasi Sekolah SMA Labschool di Rawamangun, Jakarta, Satriwan Salim, mengatakan, pengaturan gawai di sekolah idealnya diserahkan kewenangannya ke sekolah masing-masing. Sebab, konteks dan suasana sekolah berbeda-berbeda.
Di SMA Labschool Jakarta sebagai salah satu sekolah swasta, ujar Satriwan, ada konsensus antara guru pelajaran dan siswa di kelas. Misalnya, boleh pakai HP/smartphone jika sedang riset berbasis web/googling. Jika sedang belajar dengan buku atau di saat guru menjelaskan pelajaran, siswa dilarang pakai hp atau pun telepon pintar.
“Di SMA Labs Jakarta, siswa diperbolehkan membawa smartphone ke sekolah dengan sejumlah aturan yang disepakati,” kata Satriwan.
Sebaliknya, ujar Satriwan, di SMP Labschool Jakarta misalnya setiap siswa dilarang bawa hp berkamera ke sekolah. Jika membawa akan disita guru. Di awal tahun ajaran siswa dan orang tua sudah diinformasikan perihal aturan tersebut.–ESTER LINCE NAPITUPULU
Sumber: Kompas, 24 Juli 2018
——————-
Sekolah Adakan Kegiatan Pengganti Gawai
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pembangunan Karakter Arie Budhiman (berkemeja putih) memberi arahan kepada para kepala sekolah tentang pendidikan berkesinambungan.
Kemampuan sekolah menyediakan berbagai kegiatan yang menarik merupakan salah satu alternatif mengisi waktu luang siswa sehingga mereka tidak melulu menghabiskan waktu bermain gawai. Kegiatan hendaknya mengolah kemampuan fisik, mental, dan sosial siswa.
“Di sekolah ada lima ekstrakurikuler wajib, antara lain pramuka, sendratari, dan teknologi informasi dan komunikasi,” tutur Kepala SDN 1 Ungaran, Yogyakarta Dwi Atmi Sutarini di Jakarta, Senin (23/7/2018).
Dwi dan sembilan kepala SD dan SMP lain berada di ibukota untuk memberi pemaparan pencapaian program pembangunan karakter di sekolah kepada Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Paska Kemdikbud). Mereka antara lain berasal dari Sumbawa (Nusa Tenggara Timur), Bantaeng (Sulawesi Selatan), Malang (Jawa Timur), dan Medan (Sumatra Utara).
Selain ekstrakurikuler wajib, terdapat belasan ekstrakurikuler pilihan seperti renang dan bela diri. Dwi mengungkapkan, SDN 1 Ungaran menerapkan lima hari sekolah. Hari Sabtu dikhususnya untuk kegiatan ekstrakurikuler. Adapun hari Minggu untuk beraktivitas bersama orangtua.
Sementara itu, Kepala SDPN 037 Sabang, Kota Bandung, Jawa Barat, Usep Kurniawan mengatakan bahwa pihaknya justru tidak antigawai. Di sekolah tersebut terdapat kegiatan wartawan cilik. Siswa memiliki tabloid sekolah bernama Bernas (Berita Anak Sekolah) yang isinya dibuat oleh siswa.
“Siswa menulis artikel, puisi, cerpen, dan merancang tata letak tabloid melalui telepon pintar. Pemakaiannya diawasi oleh guru,” tutur Usep.
Bahkan, untuk kelas V dan VI pemakaian gawai lebih intensif karena ulangan tidak lagi menggunakan kertas dan pensil, melainkan telepon pintar. Meskipun begitu, sekolah tetap meminta siswa mengumpulkan gawai mereka kepada guru sebelum pelajaran dimulai dan hanya dipakai ketika guru mengizinkan. Misalnya untuk membantu mencari informasi terkait tugas sekolah.
Sebagai pengimbang pemakaian gawai, sekolah juga menganjurkan siswa untuk bermain permainan tradisional selama masa istirahat. “Metode ini menyehatkan fisik siswa, mengajar mereka bekerja sama sekaligus melestarikan permainan tradisional. Anak-anak SD umumnya menyenangi kegiatan fisik,” kata Usep.
Koordinasi
Tidak semua sekolah bisa memastikan setiap siswa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Hal ini karena ada siswa yang jarak rumahnya cukup jauh dari sekolah atau pun harus mengikuti kegiatan lain di luar sekolah.
Oleh sebab itu, guru berkoordinasi dengan orangtua. Contohnya diterapkan di SMPN 1 Lamongan, Jawa Timur. Kepala sekolah tersebut, Khoirul Anak menjelaskan, setiap siswa dibekali buku kegiatan yang setiap hari wajib diisi oleh orangtua. Buku itu kemudian disetor kepada wali kelas setiap pagi.
“Orangtua mencatat segala kegiatan anak di rumah dan di luar rumah. Cantumkan nama sanggar tempat anak berkegiatan beserta nama pelatihnya. Terkadang guru juga meminta orangtua mengirim foto sebagai bukti anak memang berkegiatan di sanggar tersebut,” papar Khoirul.
Hal ini untuk memastikan keberadaan anak terpantau oleh guru dan orangtua. Dengan begitu, pengasuhan antara rumah, sekolah, dan lingkungan berkesinambungan.
Pendidikan orangtua terkait literasi digital juga penting. Hany Tanua, Kepala SMPN 1 Kota Gorontalo, mengatakan sejak hari pertama sekolah, selalu rutin diadakan kelas orangtua mengenai berbagai cara pengasuhan yang baik, termasuk memanfaatkan gawai. Selain itu, pemberian informasi yang lebih intensif dilakukan oleh wali kelas kepada orangtua melalui media sosial.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 24 Juli 2018