Jejaring kerja sama antara sekolah menengah kejuruan dan sektor industri mesti diperluas agar kapasitas lulusan sekolah menengah sesuai kualifikasi yang dibutuhkan dunia usaha. Hal itu perlu disertai penguatan keterampilan nonteknis dan kurikulum pendidikan yang fleksibel agar lulusan SMK memenangi persaingan.
Demikian benang merah Bincang Kompas Pendidikan bertema “Menjawab Tantangan Masa Depan”, yang diprakarsai harian Kompas Biro Jawa Tengah dan Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Rabu (26/7), di Hotel Noormans, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Para pembicara dalam diskusi itu adalah Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng Gatot Bambang Hastowo, Rektor UPGRIS Muhdi, dan Ketua Divisi Pembelajaran dan Pengembangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng Titi Agustina. Pembicara lainnya adalah Direktur Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) Kangsure Suroto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gatot menjelaskan, penguatan pendidikan vokasi diperlukan untuk menjawab tantangan ke depan yang kian berat. Untuk memenuhi kebutuhan industri, pendidikan karakter dan keterampilan personal dengan lingkungan sekitar (soft skill) perlu terus ditanamkan kepada siswa. “Modifikasi kurikulum penting agar kompetensi dihasilkan sesuai kebutuhan,” ucapnya.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), lanjut Gatot, menuntut sumber daya manusia di Indonesia terampil secara holistik agar tak menjadi penonton di negeri sendiri. Untuk itu, mutu lulusan SMK harus diselaraskan dengan kebutuhan industri.
Ke depan, mutu lulusan SMK diharapkan meningkat dan sesuai perkembangan industri. Kini industri tak hanya butuh tenaga kerja terampil secara teknis, tetapi juga dilengkapi keterampilan nonteknis, seperti kemampuan berkomunikasi dan etos kerja tinggi.
Penyempurnaan dan penyelarasan kurikulum jadi agenda pemerintah seperti tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK. “Untuk menjawab kebutuhan industri harus fleksibel. Kurikulum perlu berubah jika ingin menyesuaikan dengan tuntutan dunia kerja,” kata Gatot.
Modifikasi kurikulum
Nantinya, kurikulum diharapkan terkoneksi dan sesuai kebutuhan industri. Selain itu, perlu peningkatan kerja sama SMKSMK di Jateng dengan industri. Jadi, kompetensi lulusan sesuai kebutuhan di dunia kerja.
Menurut Muhdi, di era kompetisi saat ini, sulit jika hanya mengandalkan kemampuan teknis tertentu. Sebab, keterampilan teknis berpotensi tergilas zaman. Adapun keterampilan lunak tak lekang oleh waktu.
Kalibrasi preferensi Bank Dunia tahun 2016, misalnya, menekankan sosok yang dicari bukan yang punya kompetensi teknis spesifik, melainkan holistik. “Soft skill yang tak tergantikan dan selalu dibutuhkan, antara lain, kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama,” kata Muhdi.
Ketua Yayasan Pendidikan Lembaga Pendidikan PGRI Sudharto mengungkapkan, peningkatan mutu guru juga sangat penting. Sebab, guru berperan penting dalam melakukan transformasi ilmu dan karakter pada siswa. Dalam konteks ini, UPGRIS memperkuat karakter mahasiswa melalui sejumlah program.
Titi mengakui, kesenjangan antara dunia pendidikan dan industri terjadi karena tak ada kesesuaian dengan kualifikasi jabatan yang dibutuhkan industri. Itu perlu jadi perhatian dalam penyusunan kurikulum.
Sejauh ini kurikulum di SMK belum berdasarkan kualifikasi jabatan industri. Di sisi lain, pelaku industri perlu membuka peluang kerja sama dengan SMK. “Semua pihak perlu duduk bersama menyusun kurikulum dan target kualifikasi lulusan,” ujarnya.
Suroto menyoroti minimnya keinginan dan kemauan kewirausahaan. Jumlah pengusaha di satu negara berbanding lurus dengan kemajuan negara itu. Untuk itu, materi kewirausahaan perlu ditanamkan kepada siswa dan mahasiswa. (DIT/GRE)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2017, di halaman 12 dengan judul “Perkuat Konektivitas SMK dan Industri”.