Tikus, kelelawar, dan primata memiliki sejarah transmisi virus ke manusia. Diperlukan penelitian lebih banyak atas patogen atau mikororganisme parasit di satwa liar untuk mengantisipasi kemungkinan infeksi virus baru.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Para pengunjung menikmati kedatangan primata siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Aek Nauli, Kamis (2/5/2019), yang berada relatif dekat dengan Parapat, tempat wisata Danau Toba. Ini bisa menjadi wisata alternatif yang mendukung pariwisata prioritas nasional tersebut. Primata tersebut tinggal di habitat hutan setempat. Saat akan dilakukan pertunjukan, seorang pawang memanggil kelompok siamang beserta beruk dan monyet ekor panjang.
Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati tinggi di dunia perlu menggali informasi aktual terkait kekayaan jenis-jenis patogen atau mikororganisme parasit pada satwa liar di habitat alamnya. Langkah ini penting sebagai deteksi dini kemunculan penyakit infeksi baru dan zoonosis yang penyebarannya sangat merugikan seperti Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari berbagai riset, semakin tinggi keanekaragaman hayati spesies satwa liar, maka secara alami spesies tersebut juga menjadi tempat hidup aneka ragam virus, bakteri, jamur, dan mikroorganisme lain. ”Kita agar mulai rutin melakukan surveilans ke wildlife. Dengan petakan seperti itu, kita bisa memberi sumbangan kebijakan, (semisal) agar hati-hati karena (patogen) mulai bersirkulasi,” kata Joko Pamungkas, pengajar Fakultas Kedokteran Hewan pada IPB University, Rabu (22/4/2020), dalam diskusi virtual memperingati 50 tahun Hari Bumi yang diselenggarakan Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurut Joko, PREDICT Project (Joko menjadi koordinator periode 2014-2019) juga melakukan pengamatan virus pada satwa liar di beberapa daerah Sulawesi. Ia mengambil sampel dari cairan pada mukosa mulut, rektal/anus/feses, genital, dan jaringan darah. Sampel terakhir ini penting untuk penentuan biologi molekuler terkait temuan jenis baru.
Joko menyatakan hasil survei tersebut menunjukkan, potensi perkembangan menjadi infeksi baru masih terbuka. Ia berharap survei ini dilanjutkan dengan wilayah lebih luas serta frekuensi yang kian masif.
Situs IPB University, 5 Maret 2020, menyebut hasil pengamatan PREDICT Project menemukan enam jenis virus yang menginfeksi manusia dan lima jenis yang menginfeksi satwa liar, termasuk coronavirus. Berdasarkan hasil dari keseluruhan pengawasan PREDICT-Global, ada 931 virus baru yang diidentifikasi. Hal penting lain, virus yang menyebabkan Covid-19 (disebut SARS-CoV-2) telah diprediksi sebelumnya oleh temuan tim PREDICT-China.
Perluasan pengamatan
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Exploitasia memberikan pendapat senada. Ia mengatakan pihaknya sedang mempersiapkan perluasan pengamatan terpadu atau integrated surveillance terkait hal tersebut bersama Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan. Kementerian Pertanian dan KLHK melakukan pengamatan pada hewan-hewan dan Kementerian Kesehatan pada pasar hewan.
Survei yang nantinya diperluas pada 16 provinsi dari sebelumnya 4 provinsi, ini dilakukan untuk mengidentifikasi, memetakan, melihat distribusi, dan memprediksi penularan. Dengan kapasitas terbatas, pihaknya memprioritaskan survei pada jenis-jenis satwa liar potensial yang selama ini telah dikenal memiliki sejarah transmisi virus ke manusia yaitu tikus, kelelawar, dan primata.
Ketiga jenis hewan tersebut juga memiliki spesies yang melimpah, jumlah banyak, dan memiliki distribusi luas. Survei ini, selain dilakukan pada satwa liar di hutan, juga pada satwa liar di lembaga konservasi, seperti kebun binatang, tempat penampungan, dan pasar-pasar satwa liar.
Di Indonesia, terdapat 109 lembaga konservasi yang 81 di antaranya lembaga konservasi umum. Ia mengatakan, survei juga menyasar pada petugas yang menangani satwa liar untuk mengetahui potensi transmisi.
Indra Exploitasia juga mengingatkan agar petugas lembaga konservasi, termasuk dokter hewan dan pawang, menerapkan disiplin biosecurity dan biosafety. Ini untuk menghindari penularan penyakit dari manusia ke satwa dan sebaliknya.
Beberapa waktu lalu seekor harimau di Kebun Binatang Bronx New York dilaporkan positif Covid-19. Diduga, penularan berasal dari petugas kebun binatang yang tak memiliki gejala mengidap penyakit Covid-19.
PRESENTASI DIT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI–Kasus-kasus Covid-19 pada hewan. Disampaikan oleh Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (22/4/2020), dalam diskusi virtual memperingati Hari Bumi yang diselenggarakan USAID dan Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK.
”Saya sangat berharap tidak ada satwa liar yang tertular Covid-19,” ujarnya. Karena itu, dengan prinsip kehati-hatian, KLHK menutup seluruh lembaga konservasi, termasuk kebun binatang, dari kunjungan wisatawan, peneliti, dan tenaga magang.
Penutupan juga dilakukan pada seluruh taman nasional, cagar alam, taman wisata alam, dan suaka margasatwa. Kewaspadaan ini, katanya, telah dimulai sejak awal Februari 2020 atau sebelum Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi.
Indra juga menyampaikan, selama masa pandemi kegiatan pelepasliaran satwa liar dari pusat-pusat rehabilitasi ditunda. Namun, kegiatan penyelamatan dan translokasi satwa liar (pemindahan dari satu tempat konflik ke tempat yang aman) tetap dilanjutkan.
Noviar Andayani, Direktur WCS-Indonesia Program, memaparkan, penelitian yang menunjukkan keberadaan jumlah virus tertinggi ada pada rodentia atau jenis tikus (61 persen), chiroptera atau kelelawar (30 persen), dan primata (23 persen). Di Indonesia, telaah dari 34 studi terkait zoonotik di Indonesia pada tahun 1973-2017, sebanyak 21 diantaranya terkait kelelawar dan macaque (monyet).
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, Kompas, 23 April 2020