MESKI usianya sudah menginjak 69 tahun, memori dokter Setianingrum masih kuat untuk mengingat peristiwa yang terjadi sekitar 30 tahun silam. Kasus dugaan malapraktik yang terjadi saat dia bertugas sebagai kepala Puskesmas Wedarijaksa Pati pada 1975 itu mengilhami kelahiran hukum kesehatan nasional.
Ketika ditemui, kemarin, dia bahkan masih ingat wartawan Suara Merdeka yang saat itu mewawancarainya, Sri Humaini AS.
”Saat itu saya tidak mau berkomentar kepada wartawan, kecuali dengan wartawan Suara Merdeka, Sri Humaini. Memang saat kasus itu bergulir, saya sudah percayakan kepada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Pati. Biar semua wartawan mengonfirmasi kasus itu ke IDI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tetapi dengan Suara Merdeka, saya tidak bisa mengelak,” kenang pensiunan dokter 1998 itu.
Ketika berkisah tentang perjuangan bergelut dengan kasus hukum yang menjeratnya, mata Setianingrum berkaca-kaca. Selembar tisu di atas meja tamu diraihnya guna menyeka pipinya yang basah.
”Beban pikiran saya kala itu sangat berat. Fisik pun terasa lelah,” kata dia di kediamannya, Jl Palebon Raya 10 Semarang.
”Namun berkat dorongan ibu saya, Supadmi Siswoko (almarhum), saya jalan terus. Dia berpesan kepada saya agar tetap teguh menjalani cobaan dari Allah,” kata wanita yang kini mengelola pengajian ibu-ibu di rumahnya setiap Selasa itu.
Alumnus Fakultas Kedokteran Undip Semarang tahun 1975 itu meniti kariernya sebagai dokter umum di Puskesmas Jakenan Pati pada Mei tahun itu juga. Lantaran saat itu menggunakan sistem kawedanan, dia harus melayani masyarakat tak hanya di Jakenan, tetapi juga Winong dan Puncakwangi.
”Itu saya lakukan secara bergiliran. Seminggu tugas di Jakenan, seminggu kemudian di Winong dan selanjutnya di Puncakwangi,” kata istri dokter Yusanto (almarhum) itu.
Tahun itu muncul tambahan sejumlah puskesmas baru, di antaranya Puskesmas Wedarijaksa. Tepat 1 Juli 1978, Setianingrum ditugaskan sebagai kepala puskesmas itu.
Pasien Meninggal
Suatu hari, dia kedatangan seorang pasien wanita, Rsm, yang mengeluh terserang flu. Dia pun menangani sang pasien sesuai dengan prosedur penanganan yang didapat di bangku kuliah. Dia menyuntikkan obat ke tubuh Rsm. Selang beberapa hari, kondisi pasien tidak membaik, tetapi bertambah parah.
Pasien itu kemudian dibawa ke RS Suwondo Pati. Dalam penanganan di rumah sakit itu, si pasien meninggal dunia. Singkat kata, keluarga Rsm tak terima dan melaporkan Setianingrum kepada polisi. Hilir mudik menjalani proses peradilan itu membuat dia cemas. Energinya terkuras untuk menjalani proses hukum.
Sebelum menjalani pengadilan pidana di Pengadilan Negeri (PN) Pati, dia terlebih dahulu menjalani sidang di Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) pada 1981. Pada sidang pertama, beban pikirannya sangat berat. Dia merasa kecil di depan majelis karena anggota sidang merupakan para pakar kedokteran.
”Sebagian dari mereka adalah dosen saya. Perasaan kala itu, saya ini sangat kecil. Hati ini ciut karena takut, khawatir, cemas, bercampur jadi satu,” katanya.
Namun pada sidang kedua, dia merasakan suasana cair. Beberapa rekan dan anggota majelis MKEK memberi dukungan yang sangat berarti baginya.
”Bahkan, ada yang menepuk-nepuk pundak saya memberikan semangat. Majelis MKEK akhirnya menyatakan saya tidak bersalah dan tindakan saya sesuai dengan prosedur penanganan pasien. Pasien saya mengalami anafilaktik shock (tak tahan terhadap obat atau alergi), bukan malapraktik, karena tindakan saya sesuai dengan prosedur,” tuturnya.
Dukungan itu membuat semangatnya bangkit kembali. Yang berkesan pada dirinya adalah dukungan luar biasa dari pengurus IDI. Merekalah yang mendampinginya selama dalam proses penyidikan sampai mencarikan bantuan hukum dari LBH Undip. (Karyadi-59)
—————
Kasus di Pati Jadi Tonggak Hukum Kesehatan
Kasus yang menimpa Setianingrum, dokter di Puskesmas Wedarijaksa, Pati, pada 1979, dijadikan tonggak kelahiran hukum kesehatan di Indonesia. Guna mengukuhkan hal itu, akan dilakukan napak tilas dan pencanangan yang diprakarsai Program Magister Hukum Kesehatan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang pada Sabtu (12/11) di Pati.
Dokter Soesanto Gunawan MH Kes, ketua panitia napak tilas mengatakan, pada kegiatan itu juga akan digelar seminar bertema ”Penyelesaian Sengketa Kesehatan melalui Sidang di Pengadilan melalui Jalur Litigasi dan Nonlitigasi” di pendapa kabupaten. Adapun napak tilas digelar di Puskesmas Wedarijaksa.
Tujuan kegiatan itu, kata dia, untuk memperingati serta mengumumkan secara nasional, bahwa tonggak kelahiran hukum kesehatan Indonesia adalah kasus dr Setianingrum dari Puskesmas Wedarijaksa Pati pada 1979. Kasus itu membawa dokter alumnus FK Undip 1975 tersebut ke jalur hukum. Dia akhirnya dibebaskan setelah melalui kasasi pada 1981.
Soesanto menjelaskan, dalam acara itu akan hadir Rektor Untag Wijaya SH MH, Pjs Bupati Pati Ign Hendro Suryo, Kepala Dinas Kesehatan Pati Edi Sulistyono, dan Kepala Puskesmas Wedarijaksa dokter Joko Leksono. Acara akan dibuka Prof Lilyana Tedjasaputra, ketua Program Magister Hukum Untag.
”Dengan momentum tersebut, diharapkan para dokter dan tenaga kesehatan memahami pemberlakuan hukum kesehatan. Peringatan ini kali pertama dilakukan, bertepatan dengan Hari Kesehatan. Kegiatan itu juga akan kami daftarkan ke Muri,” katanya, kemarin.
Dijelaskan, pada 1979, dokter Setianingrum melakukan tindakan medis untuk menyembuhkan seorang pasien di Puskesmas Wedarijaksa. Si pasien tidak kunjung sembuh, namun sebaliknya kondisi bertambah parah. Pasien itu kemudian dilarikan ke RS AA Suwondo Pati. Namun, nyawanya tak tertolong.
Diperkarakan
Oleh keluarga korban, Setianingrum diperkarakan secara hukum. Dia diduga melakukan tindakan malapraktik. Di pengadilan, dia dijerat Pasal 359 KUHP tentang tindakan kelalaian yang mengakibatkan orang meninggal dunia.
Pengadilan Negeri Pati memvonisnya bersalah dengan menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara, dengan masa percobaan 10 bulan. Namun di tingkat kasasi, MA membebaskan Setianingrum karena terbukti tidak bersalah. Tindakan Setianingrum dinilai bukan malapraktik karena telah memenuhi prosedur medis.
”Sejak terjadi peristiwa hukum medis itu, marak terjadi tuntutan dan gugatan. Dengan demikian, hukum kesehatan bekembang. Kasus dokter Setianingrum inilah yang melatarbelakangi dan menjadi tonggak kelahiran hukum kesehatan di Indonesia,” katanya.
Dokter Setianingrum mengaku tidak menjadi korban siapa pun dalam kasus itu. Dia juga merasa tidak tersanjung, meski kasusnya mengilhami kemunculan hukum kesehatan di Indonesia.
”Bagi saya, kasus itu bukan kasus pribadi, melainkan kasus kedokteran. Sebab, setiap pengobatan memiliki risiko anafilaktik shock, yaitu keadaan seseorang yang tidak tahan terhadap obat tertentu. Sebab, hal itu sama sekali tidak bisa diperkirakan sebelumnya,” jelas dia di rumahnya, kemarin. (G5-59)
Sumber: Suara Merdeka, 8 November 2011