Sudah banyak dokter dan perawat yang meninggal karena Covid-19, tetapi negara belum sepenuhnya tergerak. Berbagai persoalan terkait APD masih juga ditemui.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI–Petugas membersihkan alat pelindung diri setelah menggelar tes uji cepat di Balai Pendidikan dan Latihan Kependudukan dan Keluarga Berencana di Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (14/4/2020). Puluhan orang dites karena punya riwayat kontak dengan warga Kota Cirebon yang meninggal akibat Covid-19.
Pandemi Covid-19 menjadi ujian terberat bagi para tenaga kesehatan di garis depan. Mereka harus bergulat dengan dengan penyakit yang belum ada obatnya ini dengan senjata dan alat pengaman diri seadanya. Bayang-bayang kematian pasien dan ketakutan tertular terus menghantui.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Robert Naiborhu (47), dokter spesialis paru satu-satunya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Abdul Rivai, Berau, Kalimantan Timur, ini sudah hampir sebulan tidak pulang ke rumahnya. Dia harus berjaga siang-malam untuk merawat pasien Covid-19 yang jumlahnya terus bertambah.
Saat ini jumlah pasien positif Covid-19 yang dirawatnya sebanyak lima orang dan 20 pasien dalam pengawasan (PDP) yang masih menunggu hasil tes usap (swab). Adapun jumlah orang dalam pemantauan terus bertambah dan sewaktu-waktu bisa menjadi PDP.
”Kalau pulang hanya menaruh baju kotor di belakang rumah, kalau kangen anak hanya bisa dari jauh. Biasanya lewat telepon,” kata Robert yang memiliki satu anak kelas V sekolah dasar ini.
Robet sadar betul bahwa dia tak bisa menolak panggilan tugas. Namun, rasa putus asa kerap menghantuinya. ”Setiap ketemu pasien saya selalu khawatir saat ditanya, ’apakah bisa sembuh?’ Saya susah menjawabnya,” ujarnya.
Sebagai dokter, Robert tahu dia harus memberi semangat pasiennya. ”Namun, dalam hati kecil saya ragu. Saya hanya bisa mencoba-coba dengan berbagai obat antibiotik dan antiviral, tetapi kita sama-sama tahu, penyakit ini belum ada obatnya. Kita hanya berjuang menjaga agar pasien memiliki cukup daya tahan untuk melawan virus ini,” ujarnya.
Berulang kali Robert juga dihantui kecemasan. ”Saya sendiri tidak tahu, kalau suatu saat terinfeksi, siapa yang akan merawat saya? Apakah saya bisa bertahan,” tuturnya.
Saking seringnya berinteraksi dengan pasien-pasien Covid-19, beberapa karyawan di rumah sakitnya kerap menjauh saat berpapasan dengannya. ”Saya menyadari, mereka mungkin takut saya bisa menularkan juga,” ujarnya.
Di tengah kondisi ini, Robert masih harus menghadapi keterbatasan alat pengaman diri (APD). Awal bulan ini, dia sempat menghubungi rekan dan kerabatnya untuk meminta bantuan APD. ”Beruntung ada beberapa donasi. Bantuan dari dinas juga mulai ada, tetapi tetap harus menghemat, terutama masker, harus pakai yang didaur ulang,” ujarnya.
Robert sesungguhnya tidak yakin apakah dengan mendaur ulang masker dan baju pelindung atau hazmat akan sepenuhnya melindungi diri. ”Tetapi saya tidak ada pilihan, daripada tidak ada,” ujarnya.
Dokter spesialis dari Universitas Airlangga, Surabaya, ini sudah menjalani tec cepat (rapid test) sekali dan sejauh ini hasilnya negatif. ”Dua hari lagi jadwal untuk tes cepat lagi, semoga negatif juga. Saya tahu bahwa tes ini akurasinya rendah, tetapi tidak ada pilihan. Kita semua terbatas dan penuh ketidakpastian,” ujarnya.
Persoalan APD
Kisah Robert ini juga banyak dialami tenaga kesehatan lainnya di banyak daerah di Indonesia. Selain dipaksa bekerja di luar kapasitas, para tenaga kesehatan ini juga harus menghadapi keterbatasan APD.
Eva Sri Diana, dokter spesialis paru di Jakarta, pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengatakan, APD yang tidak sesuai standar menjadi penyebab banyaknya tenaga kesehatan yang tertular dan menjadi korban Covid-19. ”Nilai kemanusiaan yang membuat kami tetap maju di garda depan wabah ini. Sekalipun tanpa APD memadai, kami nekat terus menangani pasien dengan ikhlas sepenuh hati walau tahu bahaya kematian menanti,” tulis Eva.
Eva mengatakan, pemerintah harus bertanggung jawab atas semua ketersediaan APD ini. ”Pak Menkes, Anda pimpinan tertinggi kami dalam melawan perang ini. Bapak adalah jenderal yang harusnya melengkapi kami dengan pelindung dan senjata. Karena kami hanya prajurit tempur yang maju atas perintah Anda. Saudara kami sudah berguguran, fakta APD di lapangan yang sesuai standar tidak juga tersedia,” ungkapnya.
Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) Abraham Andi Padlan Patarai mengatakan, APD masih jadi persoalan besar bagi tenaga kesehatan di lapangan. ”Kalaupun ada barangnya harganya sangat mahal,” ujarnya.
Menurut Abraham, sekalipun sudah banyak dokter dan perawat yang meninggal karena Covid-19, negara belum sepenuhnya tergerak. Berbagai persoalan terkait APD masih juga ditemui.
Setelah melakukan pertemuan luar biasa dengan para anggotanya, pada 10 April 2020, Abraham mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Membaca surat terbuka tersebut, terasa kegundahan dan kepedihan para dokter ini.
Selain mengeluhkan kelangkaan APD, sebagai dokter, mereka juga dengan jelas memikirkan keselamatan rakyat. ”Ada beberapa poin pokok yang diminta kepada Presiden terkait penanganan Covid-19 dan saya kira itu urgen saat ini, di antaranya meminta agar negara melakukan sebanyak-banyaknya tes virus korona, kemudian menemukan sebanyak-banyaknya orang yang terpapar virus, agar segera bisa dirawat sesuai standar yang ada,” ujarnya.
Sebagai penutup surat itu, Abraham menulis, ”Jangan ada di kemudian hari di kedukaan abad ini akan mencatat namamu sebagai pemimpin yang terlena dan tak berdaya menghadapi korona. Jangan ada cerita pada cucu cicitmu nanti, negara ini kalah di kala dipimpin kakek buyutnya yang tak siaga melawan korona.”
Surat itu memang getir. ”Surat terbuka ini sengaja kami buat untuk mendapat respons dari pemerintah, dan jika tidak ditanggapi, kami merencanakan melakukan gugatan. Negara harus hadir untuk menjamin ketersediaan APD agar kami bisa bertugas dengan aman di lapangan. Ini barang harusnya ada karena Indonesia juga produsen APD, kenapa jadi langka dan mahal,” ujarnya.
Setelah adanya surat tersebut, menurut dia, PDUI mendapatkan bantuan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sebanyak 10.000 masker bedah. 2.000 masker N95, dan 5.000 baju hazmat untuk dibagikan ke dokter-dokter di seluruh Indonesia. ”Bantuan ini kami ambil sendiri di gudang di Bandara Halim. Untuk baju hazmat dan masker bedah tidak ada masalah walaupun sedih juga ternyata itu masker buatan Indonesia sendiri. Ironis,” ujarnya.
Abraham semakin gundah karena masker N95 buatan China yang diterima ternyata tidak sesuai standar WHO dan dikhawatirkan akan membahayakan….
Oleh AHMAD ARIF
Editor ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 21 April 2020