Kiprah perempuan peneliti di Indonesia masih sering terbentur bias jender. Padahal, keaktifan perempuan peneliti di bidang masing-masing turut membantu memajukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Tanah Air. Dibutuhkan kebijakan yang bisa memastikan adanya kesempatan setara bagi perempuan peneliti.
Masalah tersebut mengemuka dalam diskusi publik berjudul “Perempuan dalam Transformasi Iptek” di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Kamis (8/3). Acara ini diselenggarakan dalam rangka memeringati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada hari Kamis kemarin.
Hadir sebagai narasumber dua penerima beasiswa L’Oreal-Unesco Women in Science Fellowship Awards 2017, yaitu peneliti Pusat Penelitian Kimia Lipi Siti Nurul Aisyiyah Jenie dan peneliti Pusat Penelitian Fisika Lipi Yuliati Herbani. Adapun narasumber ketiga ialah peneliti Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Lipi Sri Rahayu yang memiliki tiga paten Perlindungan Varietas Tanaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pengalaman ketika kuliah di luar negeri memperlihatkan bahwa di sana semua peneliti dituntut untuk memberi kontribusi yang maksimal. Tidak ada anggapan bahwa produktivitas seorang peneliti ditentukan oleh jenis kelaminnya,” kata Siti yang melakukan riset bahan silika alami untuk mendeteksi kanker sedini mungkin.
–Para perempuan peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dari kiri ke kanan: Siti Nurul Aisyiyah Jenie, Yuliati Herbani, dan Sri Rahayu memberi pemaparan mengenai pengalaman menjadi perempuan peneliti yang berkiprah di Tanah Air dan luar negeri pada acara diskusi memperingati Hari Perempuan Internasional di Jakarta, Kamis (8/3).
Menurut dia, perguruan tinggi di luar negeri memiliki budaya yang memberi perempuan kesempatan yang sama dalam mengutarakan gagasan, memasukkan proposal penelitian, mendapatkan dana penelitian, serta mempromosikan hasil penelitian ke masyarakat umum. Adapun di Indonesia terkadang masih dijumpai bias yang menganggap perempuan peneliti berisiko menurun produktivitasnya apabila sudah menikah dan memiliki anak karena akan tertahan oleh tugas-tugas domestik. Ketiga perempuan peneliti tersebut membuktikan bahwa mereka tetap bisa berprestasi meskipun sudah berkeluarga.
Sri Rahayu mengungkapkan, hal ini karena sebagai profesional, niat untuk meneliti tetap nomor satu, meskipun harus menghadapi segala keterbatasan sarana dan prasarana. Ia berhasil mempublikasikan tiga spesies baru bunga hoya, tiga Perlindungan Varietas Tanaman bunga lipstik (Aeschynanthus), dan satu varietas bunga hoya. Bahkan, dalam waktu dekat, Sri akan mempublikasikan sepuluh spesies baru bunga hoya dari Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu khasisat tumbuhan ini ialah menyerap zat polutan di udara.
Kebijakan
Yuliati berpendapat, dibutuhkan kebijakan yang bisa memberikan kesempatan bagi perempuan peneliti untuk tetap berkarya meskipun sedang cuti melahirkan. Menurut dia, masa cuti tiga bulan terkadang mengakibatkan perempuan peneliti kehilangan kontak dengan isu-isu terbaru di bidang sains dan teknologi.
“Kalau ada program yang memungkinkan perempuan peneliti tetap terhubung dengan materi penelitiannya sehingga bisa bekerja dari rumah, tentu akan lebih menguntungkan,” ujar Yuliati yang meneliti kandungan kurkuminoid di dalam kunyit sebagai bahan obat terapi kanker.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lipi Enny Sudarmonowati mengungkapkan, di Lipi, jumlah perempuan peneliti adalah 45 dari total jumlah peneliti. Ia mengatakan, salah satu keunggulan perempuan peneliti di lapangan ialah bisa lebih cepat melakukan pendekatan ke masyarakat lokal melalui jejaring perempuan. (DNE)–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 9 Maret 2018