Kiprah perempuan dalam mendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia kian nyata. Meski tidak ada perbedaan perlakuan dari institusi terhadap perempuan peneliti, namun mereka masih menghadapi masalah budaya yang bisa membelenggu dirinya untuk berkarya dan meningkatkan kemampuan sebagai peneliti.
Saat terjun ke lapangan untuk menjalankan tugas bidang riset yang kerap dinilai sebagai bidang maskulin, misalnya, para perempuan peneliti menghadapi keraguan sebagian masyarakat terhadap kemampuan mereka. Jadi, mereka harus membuktikan kemampuan mereka.
“Ketika penelitian di wilayah pertambangan, warga setempat atau pemandu selalu bertanya kepada saya, mbak yakin mau ke tambang? Jauh lho, nanti capek. Saya harus meyakinkan mereka kalau sebagai peneliti mineral, menjelajah tambang itu sudah biasa,” kata Mutia Dewi Yuniati dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam diskusi “Wanita Tangguh dalam Iptek Bangsa” di LIPI, Jakarta, Jumat (20/4/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peneliti reptil dan ampibi (herpetolog) di Pusat Penelitian Biologi LIPI Hellen Kurniati, juga mengungkapkan, bagi perempuan herpetolog, tidak ada perlakuan istimewa berdasarkan jenis kelamin. Perempuan peneliti, harus terjun ke lapangan seperti ke penangkaran ataupun ke hutan dan muara. “Syarat pertama menjadi herpetolog adalah tidak takut binatang,” ujarnya.
Pengalaman sebagai perempuan peneliti juga disampaikan Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Endang Sutriswati Rahayu (64). Penerima penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara dari Presiden Joko Widodo mengatakan perempuan peneliti justru memiliki daya juang dan kegigihan lebih besar dibandingkan laki-laki peneliti.
“Penelitian itu tidak mudah. Kita harus membuat proposal dulu, lalu presentasi di depan reviewer (penilai), dan setelah penelitian laporan harus dilihat lagi oleh reviewer. Menghadapi proses seperti itu, perempuan lebih tahan dan memiliki daya juang lebih besar,” kata Endang yang mendapat gelar doktor dari Universitas Tokyo, Jepang.
Kemampuan dosen dan peneliti perempuan yang tidak kalah dengan pria juga dibuktikan, peneliti di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya, Ernie Maduratna Setiawatie (52), melalui tujuh karya riset yang dipatenkan, dalam bidang penyakit radang gusi. Tahun ini, ada dua paten lagi yang masih dalam proses pengajuan.
Peneliti mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rini Riffiani mengisolasi bakteri yang hidup dalam spons asal Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu, Selasa (5/5/2015) di Pusat Penelitian Biologi, Cibinong Science Center, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Ia menargetkan mendapatkan bakteri yang bisa membantu pembuatan obat anti kanker dan anti obesitas.
Kompas/Johanes Galuh Bimantara
Tujuh paten yang dimiliki Ernie antara lain gel tetrasiklin dari antimikroba lokal (Antimicrobial Topical: Tetracycline Gel), obat kumur untuk terapi penyakit periodontal (Minocycline Mouth Wash), serta obat kumur antibakteri, antiinflamasi, dan antioksidan (Nigela Sativa Mouth Wash).
Kesempatan sama
Menurut Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristek dan Dikt) Muhammad Dimyati, di dunia perguruan tinggi kesempatan semua peneliti untuk melakukan riset sama.
“Perempuan dosen juga kompetitif dalam memanfaatkan dana penelitian yang disediakan Kemenristek dan Dikti. Pendanaan riset tidak membedakan jender, selama pengajuan proposal riset memenuhi syarat,” kata Dimyati.
Pendanaan riset tidak membedakan jender, selama pengajuan proposal riset memenuhi syarat
Pada tahun 2018 ada 18.433 dosen yang mengajukan proposal penelitian untuk 10 bidang. Dari jumlah itu, perempuan dosen yang mengajukan riset berjumlah 8.552 orang atau 46 persen, sedangkan laki-laki 9.881 dosen atau 54 persen.
Sepuluh bidang riset yang difokuskan di perguruan tinggi, yakni pangan dan pertanian, kesehatan dan obat, energi dan energi terbarukan, pertahanan dan keamanan, serta teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, fokus riset adalah bidang kemaritiman, kebencanaan, transportasi, material maju, serta sosial humaniora.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise menilai selama ini ada kesenjangan karena biasanya laki-laki peneliti cenderung lebih cepat menangkap peluang dibandingkan perempuan peneliti yang mempunyai beban tugas domestik. Hal itu juga dipengaruhi oleh budaya patriakhi yang masih tinggi.
“Namun, semuanya tergantung dari perempuan sendiri yang harus melihat potensi diri sebagai ilmuwan yang mutunya sama dengan pria. Perempuan harus bangkit mengangkat harkat dan martabatnya di mata lelaki dengan mengatakan saya bisa. Ini butuh tekad dan keberanian untuk mendobrak benteng tradisi budaya yang menghambat kaum perempuan,” ucapnya.
Untuk mewujudkan kesetaraan jender, termasuk di bidang iptek, pemerintah mendorong semua pihak melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan nasional.
Instruksi presiden itu mengamanatkan pentingnya PUG melalui perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan, dan program pembangunan nasional berperspektif jender sesuai bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing,
Sejauh ini Kementerian PPPA gencar menyosialisasikan kepada lembaga pemerintah pusat dan daerah untuk percepat pelaksanaan PUG. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015–2019 memuat antara lain, upaya peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan. (AIK/DNE/ELN/HRS/FRN/ISW/RWN/SON/SYA)–TIM KOMPAS
Sumber: Kompas, 21 April 2018