Di beranda rumah adat Kampung Takpala, Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, pada siang yang terik awal November 2017, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo Supolo, menyimak takzim penjelasan tentang asal-usul orang Takpala dari tetua kampung, Ayub Afuiata (66).
Masyarakat Kampung Tradisional Takpala, Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, menari Lego-lego, Selasa (7/11). Penelitian Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menemukan, orang Alor di Nusa Tenggara Timur memiliki struktur genetika paduan Papua dengan Austronesia.
Sambil mengunyah sirih dan pinang, Ayub menuturkan kisah yang diketahuinya secara turun-menurun, “Orang Takpala, yang merupakan bagian dari suku Abui ini, berasal dari dua ibu, Fikar dan Tilakar. Keduanya dari jauh, tak jelas asalnya, yang entah bagaimana kemudian mendarat di atas pohon.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, tambah Ayub, leluhur lelaki keturunan manusia pertama dari Gunung Ateng Afeng. “Ateng Afeng ini merupakan tempat manusia pertama dicetak dari tanah liat,” katanya.
Suatu ketika, lelaki dari Ateng Afeng ini berburu ke hutan. Saat melintasi pohon taduk¬-tanaman lokal yang bergetah-anjingnya menggonggong tak berkesudahan. Ternyata itu karena sang anjing menemukan perempuan yang bersembunyi di atas pohon. “Dia kemudian menurunkan perempuan ini dengan bilah bambu. Mereka kemudian menikah dan menurunkan orang-orang Abui,” kata Ayub.
Sebagai guru besar yang berlatar belakang kedokteran dan biologi molekuler, Herawati terlihat menikmati penuturan folklor ini. “Dalam perjalanan kami ke banyak daerah untuk mengetahui asal-usul manusia Indonesia berdasarkan genetik, kerap kali hal ini bersesuaian dengan mitologi setempat,” ujarnya.
Herawati mencontohkan mitologi masyarakat di Pulau Sumba tentang asal-usul mereka berasal dari Kampung Wunga. Setelah diuji sampel genetiknya, ternyata nenek moyang Austronesia orang Sumba memang berasal dari Wunga. Dari desa di Sumba Timur ini, mereka kemudian memisahkan diri dalam dua kelompok besar. Masing-masing kemudian berbaur dengan populasi Papua yang telah lebih dulu tinggal di pulau itu.
Kembali ke Alor, secara leksikal, Ateng Afeng memiliki makna kampung asal. Lokasinya saat ini berada di Desa Padang Alang, Kecamatan Alor Selatan. Keberadaan Ateng Afeng ini banyak disebut-sebut dalam folklor masyarakat Abui.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Masyarakat Kampung Tradisional Takpala, Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, menari Lego-lego, Selasa (7/11). Penelitian Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menemukan, orang Alor di Nusa Tenggara Timur memiliki struktur genetika paduan Papua dengan Austronesia.
Sekalipun demikian, penjelasan ini berbeda dengan catatan peneliti Amerika, Cora du Bois, yang meneliti orang-orang Alor pada 1940-an. Dalam bukunya, The People of Alor (1944), Cora du Bois menyebutkan, orang Abui berasal di Ateng Melang.
“Raja Nampira saat itu menyembunyikan kisah Ateng Afeng atau yang sering disebut Kameng Abeng ini dari peneliti luar dan menyebutkan kampung lain. Namun, dari cerita lisan yang saya kumpulkan dari beberapa orang tua dari beberapa suku di Pulau Alor ini, semuanya menyebut Ateng Afeng sebagai kampung pertama,” kata Samuel Laufa (68), Ketua Lembaga Peduli Budaya Alor.
Samuel kemudian memberikan salinan kisah lisan tentang Ateng Afeng yang telah ditulisnya berdasarkan tuturan beberapa tetua adat. Dalam kisah ini disebutkan tentang penciptaan bumi dan manusia pertama, sosok perempuan yang bernama Builan, yang turun langsung dari langit dan kemudian tinggal di Ateng Melang atau Kameng Abeng. Atas perintah pencipta, yang disebut sebagai Rumial, kemudian diciptakan enam manusia lagi dari cetakan tanah liat. Dari merekalah kemudian lahir leluhur awal orang Alor.
Namun, seperti disampaikan Ayub, suatu ketika, salah seorang lelaki keturunan dari Gunung Ateng Afeng ini kemudian menemukan perempuan yang tersangkut di atas pohon. Itulah yang kemudian menjadi leluhur orang-orang Takpala.
Keragaman genetika
Sebagaimana folklor pada umumnya, kisah tentang asal- usul manusia di Pulau Alor ini sulit diverifikasi dan multitafsir. Namun, yang menarik untuk dicermati adalah tema perbedaan asal nenek moyang lelaki dan perempuan.
Narasi tentang perbedaan asal-usul leluhur perempuan dan lelaki ini banyak ditemui di daerah lain dengan berbagai versi berbeda, seperti pada masyarakat di Kerajaan Wehali, Pulau Timor, dan masyarakat Jawa Tengah serta Yogyakarta di Pulau Jawa. Seperti di Alor, leluhur pertama orang Wehali dikisahkan juga sosok perempuan yang turun dari langit.
Sementara dalam Babad Tanah Jawa, kita bisa melihat kisah tentang Nawangwulan, bidadari yang turun dari langit untuk mandi, tetapi tak bisa pulang karena selendangnya disembunyikan Jaka Tarub. Keturunan Jaka Tarub dan bidadari ini kelak yang kemudian dipercaya mendirikan Kerajaan Mataram.
Kisah-kisah tentang perbedaan asal-usul lelaki dan perempuan dari daerah ini bisa dibaca sebagai adanya pembauran genetika pada masa lalu. Herawati menyebutkan, studi genetik yang dilakukannya di Indonesia sejak 16 tahun terakhir telah merekam keragaman dan perbedaan, tetapi juga adanya pembauran asal-usul.
Kajian Pan-Asian SNP Consortium (2009) menemukan, tipe haplotipe atau motif genetik manusia Indonesia secara garis besar terdiri dari tiga kelompok besar, yaitu Austronesia, Austroasiatik, dan Papua. Selain itu, juga terdapat unsur Alatic, Sino-Tibet, Hmong-Mien, Tai-Kadai, Dravida, Indo-Eropa, hingga Niger-Kong, dengan porsi beragam.
Kelompok Papua tiba dari Afrika di Nusantara sekitar 50.000 tahun lalu. Berikutnya, migran Austroasiatik yang datang dari daratan Asia hingga sekitar 10.000 tahun lalu, disusul Austronesia yang tiba sekitar 4.500 tahun lalu.
Beberapa unsur genetika lain yang lebih kecil datang ke Nusantara pada era sejarah seiring dengan intensifnya perdagangan antarbenua. Dari jalur barat datang pelaut-pelaut Arab dan India, dan berikutnya Eropa. Dari timur datang orang-orang China. Orang Jawa, misalnya, memiliki komposisi Austroasiatik lebih dari 50 persen, selain unsur Austronesia yang datang belakangan, dan beberapa unsur lain dengan porsi lebih kecil, seperti Hmong-Mien, Tai-Kadai, dan India.
Motif genetik Papua pada umumnya tinggal di bagian timur Indonesia, sedangkan Austronesia dan Austroasiatik berada di bagian barat. Pengelompokan barat dan timur ini melebur di zona Wallacea, kepulauan yang berada di antara Paparan Sunda (meliputi Jawa, Sumatera, Kalimantan) dengan Paparan Sahul (Pulau Papua dan Australia).
Jika di bagian barat Indonesia didominasi paduan Austronesia dan Austroasiatik, bagian timur didominasi Papua. Sementara orang-orang di zona Wallacea ini, termasuk Nusa Tenggara Timur (NTT), memiliki komposisi genetik yang merupakan paduan Papua dan Austronesia.
Jika di Sumba, komposisi genetika Papua dan non-Papua (baca: Austronesia) masih berimbang, di Alor komposisi genetik Papua sekitar 90 persen, sisanya Austronesia, dan beberapa unsur lain. Di antara masyarakat Nusa Tenggara Timur lainnya, komposisi genetik Papua pada masyarakat Alor merupakan yang tertinggi.
Dari studi genetika yang dilakukan oleh Meryanne K Tumonggor dkk (2012) di Wehali ditemukan, penyebaran genetika Austronesia di zona Wallacea ini lebih banyak dibawa leluhur perempuan, yang terlihat dari penanda mitokondrianya. Sementara leluhur lelaki, yang dirunut dari garis keturunan kromosom-Y, kebanyakan berasal genetika Papua. Pola ini bisa ditemui di masyarakat lain di NTT.
Studi genetik ini setidaknya memiliki irisan dengan mitologi tentang kisah perempuan pertama di negeri ini, yang biasanya disebut dari tempat yang jauh atau kerap digambarkan dari langit, sedangkan lelakinya, orang setempat. Dalam versi lain, kisah ini bisa sebaliknya. Dari mitologi perbedaan asal-usul leluhur ini kita bisa belajar tentang pembauran genetika yang melahirkan kompleksitas manusia Indonesia saat ini.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 19 November 2017