Perbaikan tata kelola hutan 2015 meningkat, tetapi tak signifikan, sementara ada kesenjangan besar antara pemerintah pusat dan daerah. Rendahnya kinerja pemerintah daerah berakibat, antara lain, rendahnya pendapatan negara yang tak sebanding dengan jumlah izin atau perusahaan.
Demikian hasil kajian Tata Kelola Hutan 2015 yang diterbitkan Program Pembangunan PBB (UNDP). Metodologi riset, yakni wawancara dan diskusi kelompok, terfokus pada 40 lembaga nonpemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten, dan 20 perusahaan.
Di luar empat aspek yang diteliti, penerapan Rencana Aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) yang dikoordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai rendah (skor negatif). Aspek kepastian kawasan hutan berada di urutan terendah kemajuan tata kelola.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasil kajian itu dipaparkan dua penulis, yakni Abdulwahib Situmorang dari UNDP REDD+ (Program Pengurangan Emisi dari Kerusakan Hutan dan Penggundulan Hutan) dan Hariadi Kartodiharjo, penasihat senior KPK, di Jakarta, Selasa (26/4). Empat aspek yang diteliti, yakni kepastian kawasan hutan, keadilan dan sumber daya hutan, aspek transparansi dan integritas pengelolaan hutan, dan kapasitas penegakan hukum.
Perbaikan tata kelola hutan dinilai naik dibandingkan dengan tahun 2014, terutama aspek keadilan pengelolaan sumber daya hutan. Pemerintah dinilai berusaha menekan kesenjangan akses sumber daya hutan dan penanganan konflik tenurial di kawasan hutan.
KPK Butuh Dukungan Penelitian
Hariadi Kartodiharjo, penasihat senior KPK, menambahkan, untuk rencana aksi GNPSDA, KPK membutuhkan dukungan penelitian semacam ini karena bidang yang diawasi amat luas, mulai dari energi, pertambangan, hingga lainnya.
Penelitian tata kelola hutan, yang biasanya dilakukan dua tahun sekali, terakhir kali dilakukan 2014. Penelitian tahun 2015 dilakukan karena dorongan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Hasilnya tidak akan jauh berbeda dengan tahun 2014,” ujar KepalaUNDP Indonesia Christophe Bahuet. Dia berharap hasil kajian tersebut bisa dijadikan dasar perbaikan tata kelola dan diwujudkan dalam kebijakan yang diimplementasikan.
Kepastian kawasan hutan
Aspek dengan nilai terendah adalah kepastian kawasan hutan. Hanya 33 persen menyatakan ada kemajuan. Persentase sama, yakni 33 persen, menyatakan ada kemunduran. Kepastian kawasan hutan antara lain bergantung pada kebijakan satu peta yang belum selesai.
”Kesulitan membuat satu peta bukan karena data atau peta tak ada, melainkan karena kementerian pemberi izin tak memberi data ke Badan Informasi Geospasial. Ini terkait kemauan politik,” kata Hariadi. Kementerian tak memberi informasi karena tak ada aturan pendukung.
Kepastian kawasan hutan jadi aspek penting karena terkait konflik tenurial, perluasan wilayah kelola rakyat, penataan perizinan dan perkebunan, dan penyelesaian pengukuhan area hutan. Dari temuan yang ada, dukungan pelaku usaha untuk wilayah kelola rakyat rendah.
Menurut Abdulwahib, dukungan pemda untuk pengukuhan kawasan hutan rendah meski banyak peraturan di pusat. Dari 13 provinsi yang jadi proyek percontohan GNPSDA, hanya 5 provinsi yang mengevaluasi hak-hak warga di area hutan.
Aspek transparansi pengelolaan hutan mendapat nilai tertinggi kedua untuk mengukur kinerja ekonomi biaya tinggi karena pungutan tak resmi pada perizinan di pusat hilang. Namun, pungutan tak resmi masih terjadi di daerah, misalnya dalam pengurusan analisis mengenai dampak lingkungan, ada biaya Rp 500 juta-Rp 1 miliar. (ISW)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 April 2016, di halaman 14 dengan judul “Perbaikan Tata Kelola Tidak Signifikan”.