Berbagai gerakan hingga kebijakan dan peraturan di negara lain bisa diadaptasikan di Indonesia. Itu bisa membantu Indonesia mengatasi pencemaran plastik di lingkungannya.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan sampah plastik berukuran makro ataupun mikro masih menyebar luas di perairan dunia, tak terkecuali Indonesia. Indonesia dinilai dapat belajar dari negara-negara lain dalam upaya menyelamatkan lingkungan dari ancaman sampah, khususnya sampah plastik mikro.
Guru Besar Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Joni Hermana dalam webinar bertajuk ”Peran Anak Muda dalam Penyelamatan Sungai dari Ancaman Polusi Mikroplastik”, Selasa (13/4/2021), mengemukakan, posisi Indonesia secara global dalam penanganan sampah plastik masih belum optimal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Joni, belum optimalnya penanganan sampah plastik ini tecermin dari hasil penelitian dari profesor asal University of Georgia, Jenna Jambeck, yang masih menjadi rujukan sejumlah akademisi terkait pengelolaan sampah di dunia. Dari hasil studi yang dilakukan pada 2015 tersebut, Indonesia menjadi negara terbesar kedua setelah China sebagai penghasil sampah plastik di dunia.
”Jumlah sampah plastik yang diperkirakan masuk ke perairan dunia sekitar 9 juta ton dan itu dari berbagai macam bentuk. Akan tetapi, ada kesamaan bahwa plastik tersebut tidak mengalami penguraian dan semakin pecah hingga mengecil. Efek toksik setelah menjadi kecil akan meningkat satu juta kali lebih besar daripada sebelumnya,” tuturnya.
Hasil penelitian Balai Riset dan Observasi Laut Denpasar Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2017, sampah plastik mikro dan makro telah mencemari perairan di Selat Bali, Selat Makassar, Selat Rupat di Dumai, perairan Taman Nasional Taka Bonerate di Flores, Taman Nasional Bunaken, dan Taman Nasional Bali Barat.
Empat jenis plastik mikro yang ditemukan adalah film (plastik tipis), fragmen (bagian plastik hancur), fiber (berbentuk serat), dan pelet (bijih plastik). Sampah plastik tersebut disebut mikro jika ukuran diameter 300 mikron atau 0,3 milimeter sampai 0,5 sentimeter.
Sementara dalam hasil studi terbaru yang terbit di jurnal Science pada September 2020, diperkirakan sebanyak 53 juta metrik ton sampah plastik akan masuk ke ekosistem perairan dunia pada 2030. Hal ini akan terjadi jika tidak ada upaya serius dari tiap-tiap negara dalam mengatasi masalah sampah.
Sebanyak 20 peneliti dari sejumlah negara menghitung semua sumber yang memungkinkan bocornya sampah plastik ke laut, terutama dari aliran sungai yang mencapai 80 persen. Sementara 20 persen kebocoran sampah plastik lainnya dihitung dari perilaku pembuangan sampah langsung ke laut (Kompas, 19/9/2020).
Negara lain
Joni menilai Indonesia dapat belajar dari negara-negara lain terkait pengelolaan sampah dalam upaya menyelamatkan lingkungan dari ancaman limbah, khususnya plastik mikro. Di Australia, aksi membersihkan lingkungan secara massal berbasis komunitas telah menggerakkan 18,3 juta orang. Setiap orang yang terlibat juga membagikan aksi tersebut di media sosial sehingga kian menarik keterlibatan banyak pihak.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN—Sampah plastik berukuran 18 sentimeter ditemukan dalam usus ikan cakalang kecil yang ditangkap nelayan di Laut Banda, Maluku. Sampah plastik itu ditemukan wartawan ”Kompas”, Frans Pati Herin, dari ikan yang dibeli di Pasar Mardika Ambon pada Sabtu (27/3/2021).
Australia juga telah memulai program pengelolaan sampah rumah tangga. Setiap rumah memiliki empat tempat sampah terpisah sesuai jenisnya. Aksi yang dimulai sejak Februari 2020 ini dalam usaha transisi menuju layanan pengumpulan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Selain itu, di Eropa juga tengah gencar dalam mengambil tindakan untuk mengurangi polusi sampah plastik mikro. Badan Bahan Kimia Eropa (ECHA) mengusulkan pembatasan baru pada penggunaan plastik mikro dalam produk. Ini juga berlaku untuk beberapa produk, seperti pupuk, pembersih pakaian, dan kosmetik.
Menurut Joni, negara anggota Uni Eropa kemungkinan akan memberikan suara pada regulasi sampah plastik mikro baru pada 2021. Jika mayoritas negara menyetujui, penggunaan plastik mikro di banyak produk akan dibatasi berdasakan regulasi registrasi, evaluasi, otorisasi, dan pembatasan bahan kimia (REACH).
Pengajar Divisi Kesehatan Psikologi Pusat Studi Kebumian dan Mitigasi Bencana Universitas Brawijaya, Mokhamad Fathoni, mengatakan, selain penerapan teknologi, perlu juga mempertimbangkan mekanisme keuntungan dalam pengelolaan sampah. Sebab, peran serta masyarakat tidak akan optimal jika mereka menilai upaya yang dilakukan tidak menghasilkan keuntungan ekonomis.
”Di sisi lain, wewenang pemerintah kabupaten/kota perlu melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 bulan selama 20 tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah. Pemda juga harus menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya,” katanya.
Dalam mengurangi timbunan sampah plastik, saat ini Pemerintah Indonesia telah menerapkan sejumlah agenda dan kebijakan, salah satunya yang tertuang dalam Kemitraan Aksi Plastik Nasional (NPAP). Sejumlah langkah aksi yang dilakukan adalah mengurangi penggunaan plastik, mendesain ulang produk plastik yang lebih ramah lingkungan, meningkatkan kapasitas pengumpulan dan daur ulang sampah, serta mengembangkan kualitas tempat pembuangan akhir.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 14 April 2021