Bosscha Masih Bisa Melengkapi Data Keantariksaan
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional berencana memanfaatkan observatorium nasional yang akan dibangun di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dikhususkan pada penelitian. Pembangunan observatorium nasional itu tidak untuk menggantikan peran Observatorium Bosscha, Lembang, Jawa Barat, tetapi melengkapi.
“Supaya aspek teknis penelitian selaras manfaat sosial, selain pembangunan observatorium, satu lokasi lain akan dijadikan pusat sains,” kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin, di Jakarta, Jumat (29/5). Dengan demikian, fungsi peningkatan ekonomi daerah melalui potensi wisata ilmiah diarahkan di pusat sains di lokasi terpisah. Observatorium akan berada di Gunung Timau, Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, sedangkan pusat sains masih dalam tahap penjajakan pada tiga kandidat lokasi.
Thomas mengatakan, karena bersifat nasional, observatorium yang direncanakan selesai dibangun 2019 itu akan bisa diakses semua lembaga penelitian dan universitas yang butuh data pengamatan keantariksaan. Pada sisi lain, observatorium mendorong pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia timur, mulai dari Universitas Nusa Cendana, Kupang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan rencana anggaran Rp 300 miliar dalam empat tahun, Lapan menargetkan ada dua macam teleskop di observatorium, yakni teleskop optik dan teleskop radio. Teleskop optik membantu pengamatan mata pada bintang dan benda-benda antariksa lain. Sementara teleskop radio menangkap sinyal radio dari benda-benda antariksa.
Teleskop optik berdiameter 3 meter, tetapi panjang teleskop bisa diringkas karena menggunakan sistem cermin. “Di Bosscha, karena masih menggunakan lensa, teleskop berdiameter 60 sentimeter memiliki panjang sekitar 10 meter,” ujar Thomas.
Teleskop optik menggunakan sistem robotik sehingga bisa dikendalikan dari jauh, misalnya dari Bandung. Petugas di Gunung Timau hanya menjaga dan menonaktifkan observatorium jika bermasalah.
Teleskop radio antara lain bisa memberikan data tentang aktivitas matahari, seperti semburan-semburan gelombang radio yang biasa dikenal sebagai badai matahari. Jadi, peneliti bisa mengukur dampak gangguan badai matahari terhadap sinyal radio atau komunikasi masyarakat.
Minim gangguan
Menurut Thomas, karena lokasinya jauh dari permukiman, gangguan terhadap pengamatan keantariksaan sangat minim di Gunung Timau. Pengamatan dengan teleskop optik bakal tak terganggu polusi cahaya, misalnya dari lampu-lampu di rumah penduduk. Sementara riset dengan teleskop radio juga tak terganggu gelombang-gelombang radio warga, misalnya radio modulasi frekuensi (FM).
Hal itu sesuai keinginan para astronom di Institut Teknologi Bandung (ITB). Observatorium Bosscha merupakan laboratorium Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB.
Kepala Observatorium Bosscha Mahasena Putra mengatakan, lingkungan Observatorium Bosscha tak memadai lagi untuk penelitian astronomi. Dari tingkat kegelapan, lokasi ideal pengamatan punya angka magnitudo cahaya 22, sedangkan di area Bosscha 18-19. “Makin kecil angkanya, makin terang. Di Bosscha, kemungkinan 40 kali lebih terang dari ideal,” ujarnya.
Dari sisi cuaca, banyaknya awan di Lembang juga kurang ideal untuk pengamatan. Di sana, ada 30-40 persen hari cerah dalam setahun. Kupang lebih cocok untuk lokasi observatorium karena memiliki 70 persen hari cerah dalam setahun.
Meski demikian, kata Mahasena, peran Observatorium Bosscha yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1923 itu tidak akan digantikan observatorium nasional di Kupang. Bandung masih pusat astronom.
Agar polusi udara berkurang, petugas Observatorium Bosscha mengampanyekan penggunaan tudung pada lampu. Tujuannya, membuat sinar lampu mengarah hanya ke bawah. Petugas Observatorium Bosscha sudah memasangkan 600 tudung lampu ke rumah-rumah di tiga RW.
Thomas menekankan, kedua observasi akan saling melengkapi menyediakan data keantariksaan. Peneliti masih bisa menjalankan pengamatan minim gangguan polusi cahaya di Bosscha antara lain mengamati bintang terang, matahari, dan planet-planet.
Sementara itu, Sekretaris Utama Lapan Ignatius Loyola Arisdiyo mengatakan, tim survei yang melibatkan Lapan dan ITB akan kembali ke Gunung Timau untuk survei geologi. (JOG)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2015, di halaman 13 dengan judul “Peran Observatorium Nasional Khusus Riset”.